Selasa, Oktober 12, 2010

Tentang Chairiil Anwar


Nama:
Chairil Anwar
Lahir:
Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922
Meninggal:
Jakarta, 28 April 1949
Pendidikan:
- HIS
- MULO (tidak tamat)
Profesi:
Penyair Angkatan 45
Karya Kumpulan Puisi:
- Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949);
- Deru Campur Debu (1949);
- Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin);
- Aku Ini Binatang Jalang (1986);
- Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986);
- Derai-derai Cemara (1998)
- Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya Terjemahan:
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide)
- Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol:
- "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960);
- "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962);
- Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963);
- "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
- The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
- The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
- Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
- The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976)
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

---------------------------------------------------------------------------------
Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976); 6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

dari berbagai sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)/ Tag On FB Siska Dian Klaresia, S.IKom..
Read more

Tentang WS Rendra Sang Burung Merak



Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

-----------Masa kecil----------

Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
[sunting]
Pendidikan
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

------Rendra sebagai sastrawan--------

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

-------Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra-------------

Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternyapun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.

Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari.

Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, ebony, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong dan lain-lain.
[sunting]
Penelitian tentang karya Rendra

Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

-------Penghargaan-------------

Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
Hadiah Akademi Jakarta (1975)
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
Penghargaan Adam Malik (1989)
The S.E.A. Write Award (1996)
Penghargaan Achmad Bakri (2006).

--------Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak-----------

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja" dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.

-------Beberapa karya-----------

Drama

Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Lysistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
Shalawat Barzanji
Sobrat

Kumpulan Sajak/Puisi

Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Sajak-sajak Sepatu Tua
Mencari Bapak
Perjalanan Bu Aminah
Nyanyian Orang Urakan
Pamphleten van een Dichter
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Disebabkan Oleh Angin
Orang Orang Rangkasbitung
Rendra: Ballads and Blues Poem
State of Emergency

AAAHHH...kelak seorang Siska Dian Klaresia akan seperti dia>.....
Read more

Tentang Kahlil Gibran



Kahlil Gibran lahir di Basyari, Libanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat sejak tahun 1898 sampai 1901.

Foto Kahlil Gibran oleh Fred Holland Day, skt. 1898.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Amerika Serikat
Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Karya dan kepengarangan

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Kematian

Memorial Kahlil Gibran di Washington, D.C.

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

(tag on FB siska dian klaresia)
Read more

PARE AWARD 4, JEJAK PERJUANGAN TANGGUH PARA SINEAS MUDA



Segala potensi sineas-sineas muda indonesia akan terus digenjot. Untuk tahun yang ke empat cianjur akan kembali menggelar ajang bergengsi PARE AWARD 4 2010. Khususnya pare kreator muda dari cianjur, sukabumi, bogor tangerang dan banten akan dipertemukan di medan pertempuran.

Makna dari FREEDOM yang menjadi tagline Pare Award 4 ini akan menjadi andalan dalam berkreasi dan bereksplorasi secara merdeka. Dengan tetap memegang prinsif-prinsif dasar sinematografi dan dalam nuansa belajar, kawan-kawan dari komunitas film pelajar, mahasiswa dan masyarakat akan berkumpul dalam wahana workshop dan festival ini. Proses panjang dari tahun 2007, saat film indonesia dihantui hadirnya banyak makhluk gaib yang bergabung di perfilman indonesia. Saat itu PARE AWARD 1-pun dipenuhi sosok-sosok ‘menyeramkan’. Tema dan isinya semua SETAN [maaf!] namun itu dianggap wajar karena saat itu tren film indonesia memang seperti itu.

Tanpa harus menyalahkan pihak manapun kami LENSA creatifilm bersama Komite Film dan Multimedia Dewan Kesenian Cianjur (DKC) terus bekerja keras dalam menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan bibit unggul bangsa terkait dunia sinematografi. Ayah, (Sutardy Mahesa) adalah sosok yang menurut kami adalah PENYEBAB tersebarnya ‘racun-racun’ gila film di lokalan cianjur, bogor, tangerang di awal 2007 sampai dengan sekarang.

Dan dengan bergabungnya kawan-kawan MAV-NET yang berada di bogor tepatnya dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) MAV-NET Universitas Ibnu Khaldun Bogor di tahun 2008 sampai saat ini menambah kekuatan dalam menciptakan generasi-generasi muda dari basis sekolahan maupun dunia kampus.

Ditambah tahun ini kawan-kawan dari FIKOM Universitas Putra Indonesia (UNPI) Cianjur yang merupakan kampus tuan rumah dengan tegas siap berjuang bersama untuk Mengembangkan Pendidikan Sinematografi di cianjur khusunya. Itulah ungkapan yang disampaikan Astri D Andriani. Tak luput juga dari rekan-rekan mahasiswa kampus STAI Al Azhary dan Universitas Suryakancana menyatakan hal serupa.

Peran serta dari berbagai pihak adalah segalanya. Namun sayangnya selama 3 tahun terakhir pemerintah lokal sepertinya tak mampu memberikan dukungan yang sebanding dengan kondisi yang tercipta saat ini. Resiko ‘seniman cianjur’ yang tak begitu terperhatikan dengan baik dapat menyebabkan kemunduran sebetulnya. Namun ternyata tidak demikian. Keadaan perfilman cianjur ternyata semakin mengakar dan bercabang. Salahsatunya saat beberapa kawan di Kepulauan Riau menghubungi kami (LENSA creatifilm dan Komite Film dan Multimedia) untuk dapat membantu membuat dan mengembangkan serta melakukan apa yang pernah dilakukan di Kabupaten Cianjur untuk dapat diterapkan di Kepulauan Riau tepatnya Kabupaten Karimun.

PARE AWARD jilid 4 adalah wadah silaturahmi pembuat dan pemerhati film. Harapan kami bahwa film komunitas pelajar dapat semakin agresif dan inovatif begitupula film kawan-kawan mahasiswa dapat diapresiasi oleh berbagai pihak dari mulai pemerintah pusat dengan beberapa kementerian yang terkait dengan dunia seni (Kemenbudpar), dunia pendidikan (Kemendiknas), dunia komunikasi dan informasi (Kominfo), dunia kepemudaan (Kemenpora) ataupun pemerintah lokal kabupaten cianjur serta dari praktisi dan pemerhati film nasional dan dari elemen-elemen bangsa yang trus berjuang melalui media film. (ANGKAT KAMERA DAN LAKUKAN PERUBAHAN !!!!!)

Selamat berfestival bagi rekan-rekan filmaker di ajang PARE AWARD 4!!!
Jaya Film Indonesia, maju terus Perfilman Nasional!!!
www.lensa-creatifilm.co.cc
www.mavnet-indonesia.co.cc

(tag on kompasiana-saeful adha)
Read more

Kamis, Juli 15, 2010

SoeHokGie



1. DRAMA
berarti perbuatan, tindakan. Berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama
Drama (Yunani Kuno δρᾶμα) adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera.

2. TEATER
Secara etimologis : Teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam arti luas, teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Teater bisa juga diartikan sebagai drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb.
Teater (Bahasa Inggris “theater” atau “theatre”, Bahasa Perancis “théâtre” berasal dari Bahasa Yunani “theatron”, θέατρον, yang berarti “tempat untuk menonton”) adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Univesitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai ” yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain.” Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.

3. PUISI
Puisi Soe Hok Gie

Puisi ini adalah puisi yang dibacakan oleh Nicholas Saputra dilagu Cahaya Bulan Ost. Soe Hok Gie (catatan seorang demonstran).
Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, kenbah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat.
( lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita )
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
( haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu )
manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.

SoeHokGie
Selasa, 1 April 1969
Read more

Sejarah HMI


Sejarah HMI :
Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia*)


HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.

Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.

Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI. Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.

MISSION

KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni ideal yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagai mana dirumuskan dalam pasal tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut:
1. Kualitas Insan Akademis
• Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.
• Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.
• Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu yang dipilihnya, baik secara teoritis maupuan teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.
2. Kualitas Insan Pencipta;
• Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada, dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.
• Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menemukan bentuk yang indah-indah.
• Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.
3. Kualitas Insan Pengabdi;
• Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.
• Sadar membawa tugas insan pengabdi bukanya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.
• Insan akademis, pencipta dan pengabdi adalah yang pasrah cita-citanya yang ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.
4. Kualitas Insan yang bernafaskan Islam
• Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan mission Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.
• Ajaran Islam telah berhasil membentuk "unity of personality" dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema antara dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah meng-integrasi-kan masalah suksesnya dalam pembangunan Nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.

5. Kualitas insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT :
• Insan akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
• Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
• Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.
• Rasa tanggung jawab taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
• Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
• Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai "khalifah fil ardhi" yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Pada pokoknya insan cita HMI merupakan "Man of future" insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai yang dicita-citakan.
Ideal type dari hasil perkaderan HMI adalah "Man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara "Idea of progress" insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman berilmu dan mampu beramal soleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Dari lima kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas Insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga kualitas insan pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksikan dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adi dan makmur yang diridhoi Allah SWT.

Lambang HMI adalah sebagai berikut :
1. Bentuk huruf alif :
- Sebagai huruf hidup, lambang optimis kehidupan HMI
- Huruf alif merupakan angka 1 (satu) lambang,
dasar/semangat HMI
2. Bentuk perisai :
Lambang kepeloporan HMI
3. Bentuk jantung :
Jantung adalah pusat kehidupan manusia, lambang proses
perkaderan HMI
4. Bentuk pena :
Melambangkan bahwa HMI adalah organisasi mahasiswa yang
senantiasa haus akan ilmu pengetahuan
5. Gambar bulan bintang :
Lambang keimanan seluruh umat Islam di dunia
6. Warna hijau :
Lambang keimanan dan kemakmuran
7. Warna hitam :
Lambang ilmu pengetahuan
8. Keseimbangan warna hijau dan hitam :
Lambang keseimbangan, esensi kepribadian HMI
9. Warna putih :
Lambang kesucian dan kemurnian perjuangan HMI
10. Puncak tiga :
- Lambang Iman, Islam dan Ikhsan
- Lambang Iman, Ilmu dan Amal
11. Tulisan HMI :
Kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam

Bahan Bacaan :
Bahan bacaan adalah bahan yang diberikan kepada peserta yang isinya materi
atau studi kasus atau hal lain yang dapat didiskusikan berkaitan dengan materi.


CONTOH STUDI KASUS
MATERI KONSTITUSI HMI

Si Petak mahasiswa yang rajin kuliah sehingga gak sempet mikirin buat berorganisasi intra apalagi ekstra. Tak terasa Petak telah mulai menyusun skripsi, ternyata waktu menyusun skripsi banyak godaannya, abis kalo gak garap skripsi dia hanya bisa ngelamun, beda dengan temannya, Si Epri yang aktivis organisasi, gak hanya intra, ekstra juga dia aktif, jadi otomatis gak ada waktu luang buat ngelamun, cewek aja gak sempet kepikiran kok. Akhirnya Si Petak nanyain ama Epri apa aja sih kok kayaknya gak pernah gak ada aktifitas, kayak asyik banget dech. Epri yang aktifis ini cuap-cuap lah mengenai keuntungan berorganisasi ampe-ampe Petak terbengong-bengong. Rupanya Epri itu aktifis HMI dan pernah berkeliling Indonesia gratis gara-gara aktifitasnya itu. Tentu aja Petak jadi kepengen kayak si Epri (padahal mah banyak busanya).
Epri menyarankan agar Petak ikut Maperca. Seminggu kemudian kebetulan ada Maperca HMI, maka Petak pun ikut. Sebulan setelah ikut Maperca Petak sidang skripsi dan lulus, selanjutnya wisuda. Karena tertarik dengan aktivitas di HMI ketika ada LK I (dua bulan setelah wisuda), Petak pun ikut LK I dan akhirnya menjadi anggota biasa HMI. Perjalanan karirnya cukup pesat, maklum udah sarjana, ketika ada RAK ia pun terpilih menjadi ketua umum komisariat.
Kampus atau bahasanya urusan PTKP-lah. Dalam pertemuan internal komisariat-komisariat yang ada di lingkungan kampus tersebut, disepakati bahwa HMI tidak akan memunculkan kadernya sebagai Top Leader di kampus, dan akan memberikan sanksi pada kader yang memaksakan diri. Namun pada perjalanannya, Deden anggota komisariatnya Petak yang kebetulan dia juga menjabat sebagai Ketua bidang PPD HMI cabang, memaksakan diri mencalonkan menjadi Presiden BEM dan berhasil menduduki posisi itu. Tentu saja kondisi ini membuat heboh komisariat-komisariat yang ada di kampus tersebut. Akhirnya akibat dari kesepakatan yang telah dibuat, Petak memberikan sanksi pada Deden dengan mengusulkan pencabutan status keanggotaan kepada cabang dengan dasar telah melanggar ketentuan HMI yang dituangkan pada kesepakatan antar komisariat.
Pada saat bersamaan komisariat E di kampus yang berbasis keagamaan di cabang tersebut juga ada yang mengusulkan pemecatan anggotanya, Neneng yang dianggap telah mencemarkan nama baik HMI, karena dia ditenggarai telah menggelapkan uang BEM Fakultas dimana ia menjadi gubernurnya, namun pada proses internal kampus hal itu tidak dapat dibuktikan.
Akhirnya kasus-kasus pengusulan komisariat dibahas pada pleno cabang yang kebetulan dilaksanakan tak jauh dari situ. Menyikapi kasus tersebut, cabang menolak pemecatan Deden yang kebetulan kabid cabang, dengan alasan kesepakatan komisariat salah, karena tidak mendorong kehidupan kampus yang baik, dan kesepakatan itu bukan merupakan suatu aturan di HMI, sedangkan untuk kasus Neneng, cabang melakukan pemecatan.
Selesai pleno tak menyelesaikan kemelut di komisariatnya Petak, komisariat Petak berketetapan untuk tidak mengakui Deden sebagai anggotanya, Deden pun melakukan intrik dengan menggunakan institusi cabang untuk memecat Shinta, sekretaris umum Petak yang pernah menolak cinta Deden, dengan alasan tidak menjalankan kewajiban sebagai anggota HMI yaitu berpartisipasi dalam kegiatan HMI, karena kebetulan yang bersangkutan sejak dilantik jadi sekum melakukan penelitian di luar kota dan belum kembali. Akhirnya cabang mencabut keanggotaan Shinta dalam rapat harian.
Untuk melegalisasi keputusan cabang, maka dalam konferensi cabang ada beberapa bagian dalam ART HMI yang diubah. Konflik makin meruncing, Petak yang pada dasarnya bukan mahasiswa aktifis, tidak kuat menanggulangi masalah tersebut, dan memilih untuk bekerja dan kebetulan keterima sebagai PNS. Melihat itu cabang melakukan pemecatan terhadap Petak dengan alasan rangkap jabatan. Petak gak terima, ia banding ke konferensi tahun berikutnya, dan karena kekuatan politik dia lemah semenjak ia tidak lagi menjadi ketua umum komisariat, maka konferensi mengukuhkan pemecatan Petak. Tidak terima dengan keputusan konferensi, Petak pun banding ke kongres, dan sampai sekarang masalah ini terkatung-katung, karena menunggu keputusan di kongres XXxxxx.


Cerita di atas murni fiktif, hanya sekedar buat studi kasus,
diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengcover masalah
keanggotaan dan struktur organisasi,
1. Bisakah Petak ikut LK I ?
2. Apakah kesepakatan antar komisariat bisa menjadi dasar hukum yang kuat?
3. Tepatkah keputusan cabang untuk memecat Neneng, Shinta, dan Petak ?
4. Tepatkah cabang untuk tidak memecat Deden ?
5. Bisakah konferensi mengubah ARTHMI ?

:: Berbagai Sumber''
Read more

Sejarah HMI

Sejarah HMI :
Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia*)


HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.

Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.

Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI. Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.














MISSION

KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni ideal yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagai mana dirumuskan dalam pasal tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut:
1. Kualitas Insan Akademis
• Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.
• Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.
• Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu yang dipilihnya, baik secara teoritis maupuan teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.
2. Kualitas Insan Pencipta;
• Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada, dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.
• Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menemukan bentuk yang indah-indah.
• Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.
3. Kualitas Insan Pengabdi;
• Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.
• Sadar membawa tugas insan pengabdi bukanya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.
• Insan akademis, pencipta dan pengabdi adalah yang pasrah cita-citanya yang ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.
4. Kualitas Insan yang bernafaskan Islam
• Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan mission Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.
• Ajaran Islam telah berhasil membentuk "unity of personality" dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema antara dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah meng-integrasi-kan masalah suksesnya dalam pembangunan Nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.




5. Kualitas insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT :
• Insan akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
• Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
• Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.
• Rasa tanggung jawab taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
• Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
• Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai "khalifah fil ardhi" yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Pada pokoknya insan cita HMI merupakan "Man of future" insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai yang dicita-citakan.
Ideal type dari hasil perkaderan HMI adalah "Man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara "Idea of progress" insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman berilmu dan mampu beramal soleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Dari lima kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas Insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga kualitas insan pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksikan dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adi dan makmur yang diridhoi Allah SWT.





















Lambang HMI adalah sebagai berikut :
1. Bentuk huruf alif :
- Sebagai huruf hidup, lambang optimis kehidupan HMI
- Huruf alif merupakan angka 1 (satu) lambang,
dasar/semangat HMI
2. Bentuk perisai :
Lambang kepeloporan HMI
3. Bentuk jantung :
Jantung adalah pusat kehidupan manusia, lambang proses
perkaderan HMI
4. Bentuk pena :
Melambangkan bahwa HMI adalah organisasi mahasiswa yang
senantiasa haus akan ilmu pengetahuan
5. Gambar bulan bintang :
Lambang keimanan seluruh umat Islam di dunia
6. Warna hijau :
Lambang keimanan dan kemakmuran
7. Warna hitam :
Lambang ilmu pengetahuan
8. Keseimbangan warna hijau dan hitam :
Lambang keseimbangan, esensi kepribadian HMI
9. Warna putih :
Lambang kesucian dan kemurnian perjuangan HMI
10. Puncak tiga :
- Lambang Iman, Islam dan Ikhsan
- Lambang Iman, Ilmu dan Amal
11. Tulisan HMI :
Kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam



























Bahan Bacaan :
Bahan bacaan adalah bahan yang diberikan kepada peserta yang isinya materi
atau studi kasus atau hal lain yang dapat didiskusikan berkaitan dengan materi.


CONTOH STUDI KASUS
MATERI KONSTITUSI HMI

Si Petak mahasiswa yang rajin kuliah sehingga gak sempet mikirin buat berorganisasi intra apalagi ekstra. Tak terasa Petak telah mulai menyusun skripsi, ternyata waktu menyusun skripsi banyak godaannya, abis kalo gak garap skripsi dia hanya bisa ngelamun, beda dengan temannya, Si Epri yang aktivis organisasi, gak hanya intra, ekstra juga dia aktif, jadi otomatis gak ada waktu luang buat ngelamun, cewek aja gak sempet kepikiran kok. Akhirnya Si Petak nanyain ama Epri apa aja sih kok kayaknya gak pernah gak ada aktifitas, kayak asyik banget dech. Epri yang aktifis ini cuap-cuap lah mengenai keuntungan berorganisasi ampe-ampe Petak terbengong-bengong. Rupanya Epri itu aktifis HMI dan pernah berkeliling Indonesia gratis gara-gara aktifitasnya itu. Tentu aja Petak jadi kepengen kayak si Epri (padahal mah banyak busanya).
Epri menyarankan agar Petak ikut Maperca. Seminggu kemudian kebetulan ada Maperca HMI, maka Petak pun ikut. Sebulan setelah ikut Maperca Petak sidang skripsi dan lulus, selanjutnya wisuda. Karena tertarik dengan aktivitas di HMI ketika ada LK I (dua bulan setelah wisuda), Petak pun ikut LK I dan akhirnya menjadi anggota biasa HMI. Perjalanan karirnya cukup pesat, maklum udah sarjana, ketika ada RAK ia pun terpilih menjadi ketua umum komisariat.
Kampus atau bahasanya urusan PTKP-lah. Dalam pertemuan internal komisariat-komisariat yang ada di lingkungan kampus tersebut, disepakati bahwa HMI tidak akan memunculkan kadernya sebagai Top Leader di kampus, dan akan memberikan sanksi pada kader yang memaksakan diri. Namun pada perjalanannya, Deden anggota komisariatnya Petak yang kebetulan dia juga menjabat sebagai Ketua bidang PPD HMI cabang, memaksakan diri mencalonkan menjadi Presiden BEM dan berhasil menduduki posisi itu. Tentu saja kondisi ini membuat heboh komisariat-komisariat yang ada di kampus tersebut. Akhirnya akibat dari kesepakatan yang telah dibuat, Petak memberikan sanksi pada Deden dengan mengusulkan pencabutan status keanggotaan kepada cabang dengan dasar telah melanggar ketentuan HMI yang dituangkan pada kesepakatan antar komisariat.
Pada saat bersamaan komisariat E di kampus yang berbasis keagamaan di cabang tersebut juga ada yang mengusulkan pemecatan anggotanya, Neneng yang dianggap telah mencemarkan nama baik HMI, karena dia ditenggarai telah menggelapkan uang BEM Fakultas dimana ia menjadi gubernurnya, namun pada proses internal kampus hal itu tidak dapat dibuktikan.
Akhirnya kasus-kasus pengusulan komisariat dibahas pada pleno cabang yang kebetulan dilaksanakan tak jauh dari situ. Menyikapi kasus tersebut, cabang menolak pemecatan Deden yang kebetulan kabid cabang, dengan alasan kesepakatan komisariat salah, karena tidak mendorong kehidupan kampus yang baik, dan kesepakatan itu bukan merupakan suatu aturan di HMI, sedangkan untuk kasus Neneng, cabang melakukan pemecatan.
Selesai pleno tak menyelesaikan kemelut di komisariatnya Petak, komisariat Petak berketetapan untuk tidak mengakui Deden sebagai anggotanya, Deden pun melakukan intrik dengan menggunakan institusi cabang untuk memecat Shinta, sekretaris umum Petak yang pernah menolak cinta Deden, dengan alasan tidak menjalankan kewajiban sebagai anggota HMI yaitu berpartisipasi dalam kegiatan HMI, karena kebetulan yang bersangkutan sejak dilantik jadi sekum melakukan penelitian di luar kota dan belum kembali. Akhirnya cabang mencabut keanggotaan Shinta dalam rapat harian.
Untuk melegalisasi keputusan cabang, maka dalam konferensi cabang ada beberapa bagian dalam ART HMI yang diubah. Konflik makin meruncing, Petak yang pada dasarnya bukan mahasiswa aktifis, tidak kuat menanggulangi masalah tersebut, dan memilih untuk bekerja dan kebetulan keterima sebagai PNS. Melihat itu cabang melakukan pemecatan terhadap Petak dengan alasan rangkap jabatan. Petak gak terima, ia banding ke konferensi tahun berikutnya, dan karena kekuatan politik dia lemah semenjak ia tidak lagi menjadi ketua umum komisariat, maka konferensi mengukuhkan pemecatan Petak. Tidak terima dengan keputusan konferensi, Petak pun banding ke kongres, dan sampai sekarang masalah ini terkatung-katung, karena menunggu keputusan di kongres XXxxxx.


Cerita di atas murni fiktif, hanya sekedar buat studi kasus,
diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengcover masalah
keanggotaan dan struktur organisasi,
1. Bisakah Petak ikut LK I ?
2. Apakah kesepakatan antar komisariat bisa menjadi dasar hukum yang kuat?
3. Tepatkah keputusan cabang untuk memecat Neneng, Shinta, dan Petak ?
4. Tepatkah cabang untuk tidak memecat Deden ?
5. Bisakah konferensi mengubah ARTHMI ?

:: Berbagai Sumber''
Read more

Teater Of Mind


TEATER OF MIND ?????

Misalnya seperti ini:

Di radio kita mendengarkan suara jangkrik berbunyi, kemudian tidak lama ada suara ketukan di pintu yang cepat dan suara orang memanggil-manggil:
Orang pertama: Bu Joko… Bu Joko…
(Suara pintu terbuka)
Orang kedua: Eh, Bu Budi… Ada apa Bu?
Orang pertama: Bu Joko punya es? Anak saya badannya panas sekali…
Orang kedua: Kok pakai es Bu? Cobalah (nama produk yang diiklankan). Kalau anak saya sakit, saya biasanya memberikan (nama produk yang diiklankan), efektif untuk menurunkan panas demam dan juga disertai rasa jeruk yang disukai anak-anak.
Nah, ketika kita mendengarkan iklan tersebut di radio secara tidak sadar dalam pikiran kita tergelar sebuah teater kecil yang mungkin menggambarkan suasana di suatu malam hari yang sepi di mana ada seorang ibu yang panik karena anaknya sedang sakit dan suhu tubuhnya meninggi kemudian ia dengan tergesa-gesa pergi ke rumah tetangganya yang nampaknya seorang ibu rumah tangga yang bijaksana dan memberikan pertolongan pada ibu tersebut.

Contoh yang lebih sederhana lagi, jika kita di radio mendengarkan suara jangkrik kemudian diiringi suara lolongan anjing, umumnya yang tergelar di pikiran kita adalah suasana malam yang menyeramkan.
Atau suara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling memanggil seperti ini:
(Backsound musik/lagu lembut dan romantis)
Lelaki: Dik…
Perempuan: Mas… (sambil tertawa-tawa kecil)
Lelaki: Dik… (dengan suara lebih lembut dan agak berbisik)
Perempuan: Mas… (dengan suara agak mendesah)
Sebuah teater kecil yang ada di benak kita bukannya tergambar percakapan dua orang lelaki-perempuan yang mempunyai hubungan kakak adik, melainkan dua orang kekasih yang sedang memadu kasih. Terlebih lagi kemudian percakapan itu diiringi dengan voice over seperti ini:

Voice Over: Kondom (nama produk) membuat momen spesial anda lebih spesial…
Dari contoh-contoh itu sebenarnya saya ingin bilang bahwa Theater of Mind itu adalah sebuah teater yang tergelar (kadang-kadang tanpa sadar) di dalam benak kita setelah kita memperoleh input-input dari luar (alam hal ini yang lebih sering input itu berupa suara ataupun tulisan). Semoga ini benar dan sesuai dengan apa yang dimaksud. Dari sinilah maka saya berniat untuk menuangkan sebagian kecil dari teater-teater yang bermacam-macam dan berulangkali tergelar di benak saya di tempat ini. Dan namanya juga sebuah teater, bisa saja hal itu bukan hal yang sebenarnya, hanya khayalan, terdapat kesalahan, atau mungkin juga terlihat bodoh.

:: Berbagai Sumber'
Read more

Membongkar Gurita Cikeas


Membongkar Gurita Cikeas,
di balik skandal Bank Century

“apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas‐desus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu
dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.

…. sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit S. Ryanto dan Chandra M. Hamzah ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan itahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oledrama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya. Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI. Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong oleh Bibit Samad Riyanto, yang waktu itu masih aktif sebagai Wakil Ketua Bidang Investigasi KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009.Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itusejak 1998. Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar. Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: 48; Haque 2009; Inilah.com, 25 Febr. 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).

(CANTUMKAN)
SURAT REKOMENDASI BARESKRIM MABES POLRI,
KOMJEN (POL) SUSNO DUADJI, TERTANGGAL 7 DAN 17 APRIL 2009


BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS
Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48). Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009). Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun. Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49). Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara. Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101). Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang
tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas
milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon. Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di
Jakarta.
Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Eksplo. Boleh jadi, dwi‐mingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai‐maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.

Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM. Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis, “PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).

Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N. Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.

Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis. Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap
pemilik dan penanggungjawab.

Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti,serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Eksplo.

Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama. Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center. Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat, mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009).

Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy. Namun nama Ananta Setiawan tetap
tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP PT Media Nusa Perdana. Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007).

Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas? Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar. Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya
kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama (2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan. Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar.

Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp 90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri. Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group.

Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpul‐simpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal‐Tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga
sebesar Rp 5,7 trilyun.

Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar ‐‐dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS.

PEMANFAATAN PSO LKBN ANTARA UNTUK BRAVO MEDIA
CENTER:

Kemudian, sudah ada preseden bahwa dana publik dialihkan untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Hal ini timbul, di mana ada perangkapan jabatan antara kader Partai Demokrat, khususnya yang duduk di dalam berbagai tim sukses, dengan jabatan komisaris atau fungsionaris badan‐badan usaha milik negara (BUMN) tertentu. Misalnya dalam kasus Rully Ch. Iswahyudi yang selain menjadi Direktur Komersial & IT Perum LKBN Antara, juga ikut mengelola Bravo Media Center.

Mantan direktur Blora Center dalam Pemilu 2004 dan mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional itu masih tercantum namanya sebagai Staf Khusus Bappilu Partai Demokrat, menurut situs resmi Partai Demokrat, 10 Juli 2009. Juga, sampai dengan 1 April lalu, namanya masih tercantum sebagai Direktur Media Center Barindo (Barisan Indonesia) (Gatra, 1 April 2009: 17). Padahal Barindo, yang ditokohi oleh Akbar Tanjung, adalah salah satu jejaring militan pendukung SBY (lihat Lampiran
I). Lalu, adalah kontribusi finansial Rully bagi kampanye Capres dan Cawapres SBY‐Boediono? Ada. Bersama CEO LKBN Antara, Dr. Akhmad Muchlis Jusuf, separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang berjumlah Rp. 40,6 milyar ke Bravo Media Center, salah satu tim kampanye SBY‐Boediono.

PSO untuk LKBN Antara itu merupakan bagian dari alokasi PSO untuk empat BUMN – PELNI, PT Kereta Api Indonesia (KAI), LKBN Antara, dan PT Pos – sebesar Rp 1,7 trilyun yang disetujui oleh DPR‐RI, akhir 2008. Pengalihan separuh dana PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center ini menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Barangkali, karena rasa tanggungjawab yang besar, serta susahnya mencari
pekerjaan, tidak ada karyawan LKBN Antara yang keluar, namun informasi ini sudah sempat merembes ke luar.

Nah, kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY‐Boediono – karena tidak dilaporkan ke KPU ‐‐, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan pada Badan‐Badan Usaha Milik Negara yang lain, di mana pejabatnya juga menjadi anggota tim sukses SBY‐Boediono? Baik yang terdaftar, maupun yang tidak terdaftar?
= Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT KAI, yang komisarisnya, Yahya Ombara, juga menjadi anggota tim sukses SBY‐Boediono, sebelum ditarik, 10 Juni lalu?
= Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT Pos, yang komisarisnya, Andi Arief, menjadi anggota Jaringan Nusantara?
= Bagaimana dengan transparansi dana BUMN lain, yang komisarisnya juga anggota Jaringan Nusantara, seperti Aam Sapulete (PTPN VII, Lampung), Herry Sebayang (PTPN III, Sumut), dan Syahganda Nainggolan (PT PELINDO, yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok, termasuk pelabuhan peti kemasnya)? Pengalihan dana melalui Bank Century, LKBN Antara, ataukorporasi‐korporasi lain, terdorong oleh gencarnya usaha SBY serta para pendukungnya, untuk memastikan pemilihannya kembali untuk masa jabatanm kepresidenan yang kedua dan terakhir, sehingga terbukti jumlah pemilih Partai Demokrat telah melonjak hampir tiga kali lipat dari 7 % dalam Pemilu legislatif tahun 2004 menjadi sekitar 20% dalam Pemilu legislatif 2009.

YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE SBY:

Selain melalui lebih dari selusin tim kampanye (lihat Lampiran 1), penggalangan dukungan politis dan ekonomis bagi SBY dimotori oleh yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan ke Ny. Ani Yudhoyono. Selanjutnya, yayasan‐yayasan yang berfungsi sebagai bagian dari strategi public relationship keluarga Yudhoyono, ternyata tidak luput dari usaha penggalangan dana bagi perusahaan‐perusahaan lama dan baru, yang kemungkinan besar juga menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk
biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya.

Antara tahun 2005‐2006, telah didirikan dua yayasan yang berafiliasi ke SBY, yakni Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang didirikan tahun 2005 dan berkantor di Tebet, Jakarta Selatan , tapi selalu menyelenggarakan kegiatan‐kegiatan dzikirnya di Masjid Baiturrahim di Istana Negara; serta Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, disingkat Yayasan Puri Cikeas, yang didirikan tanggal 11 Maret 2006 di kompleks perumahan Cikeas Indah (lihat Lampiran 2: Susunan Pengurus Yayasan
Puri Cikeas).

Kedua yayasan itu melibatkan sejumlah menteri (ada yang sekarang mantan menteri, seperti ), sejumlah perwira tinggi, sejumlah pengusaha, serta anggota keluarga besar SBY. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, sebagai salah seorang Sekretaris Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Hartanto Edhie Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono (lihat Box II: Dinasti Sarwo Edhie Wibowo) sebagai
salah seorang bendahara.

(CANTUMKAN)
BOX II: DINASTI SARWO EDHIE WIBOWO

Menjelang Pemilu 2009, yayasan penopang kekuasaan SBY bertambah satu: Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (KdK), yang dipimpin oleh Arwin Rasyid. Empat orang anggota Dewan Pembinanya sudah masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat
Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK).

Yayasan ini dikelola oleh orang‐orang yang punya banyak pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid, Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya, Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II (Gatra, 28 Okt. 2009: 16). Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar Politik, 7‐14 Okt. 2009: 10‐11).

Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama. Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang‐orang dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan
keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga yayasan itu oleh auditor publik yang betul‐betul independen, belum pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa. Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana
yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah, yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31 Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34).
Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR‐RI. Tapi bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50 orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis dzikir)?
Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan, pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J. Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94;
Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29; Gatra, 1 April 2009: 68‐
69).

Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri
Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49).
Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto
Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPR‐RI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004).

Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir, Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin; Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin; Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta
anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, EmilAbeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit‐pembangkit tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24‐5; Tempo, 13 Mei 2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006; Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49; Bank
Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat). Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol Mabes AU (1990‐1992), anggota DPRD‐DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua INKOPAU (1998‐2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet
Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998‐2000) yang waktu itu masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006‐2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001‐2002); komisaris PT Prosys Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006‐2007) yang mengelola bandara‐bandara di Jakarta, Medan, Palembang, Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin 2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29). Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling‐kapling, masing‐masing seluas seribu meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira
tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah
jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di
kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21
Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007). Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas, yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas, penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah, dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan
sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik
keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar
Bogor, 16 Ag. 2009). Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh
pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN. Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan
mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin, Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001‐2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006‐2007). Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang sahamnya termasuk koperasi‐koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi,
dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara (INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.


KAITAN YAYASAN‐YAYASAN TERSEBUT DI ATAS DENGAN
BISNIS KELUARGA CIKEAS:

Namun yang paling penting, keuangan ketiga yayasan itu perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen dan media, karena dua orang anggota keluarga besar SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yakni Hartanto Edhi Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono dan Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yang sudah terjun dalam bisnis keluarga Cikeas, memegang jabatan‐jabatan strategis di Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, masing‐masing sebagai bendahara dan sekretaris.

Menariknya, Hartanto Edhie Wibowo, punya ikatan bisnis dengan adik dari M. Hatta Rajasa, Pembina Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, melalui PT Power Telecom (Powertel). Hartanto adalah Komisaris Utama perusahaan itu, sementara adik Hatta Rajasa, Achmad Hafisz Tohir, salah seorang direkturnya, pakar telematika Roy Suryo
Notodiprojo komisaris independen, sedangkan Dicky Tjokrosaputro, salah seorang pewaris Batik Keris, direktur utama PT Powertel. Waktu Hatta Rajasa jadi Menteri Perhubungan, Powertel mendapat proyek telekom serat optik dari PT KAI Tempo Interaktif, 27 April 2009; Warta Ekonomi, 15‐28 Juni 2009: 56; Indonesia Monitor, 7 & 14 April 2009; www.selular.co.id, 2 Juli 2008; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).

(CANTUMKAN)
FOTO DICKY TJOKROSAPUTRO,
DIREKTUR UTAMA PT POWERTEL PowerTel yang berkantor pusat di Jakarta, dengan enam kantor
cabang di Pulau Jawa, mendapat berbagai proyek di lingkungan PT Kereta
Api Indonesia (KAI) sewaktu Hatta Rajasa masih menjabat sebagai Menteri
Perhubungan, yakni pembangunan double track jurusan Tanah Abang‐
Serpong bernilai Rp 333 milyar; pengadaan 16 unit kereta api listrik (KRL)
bekas dari Jepang bernilai Rp 44,5 milyar; serta pengadaan jaringan serat
optik di kawasan Jakarta, Bandung, dan Surabaya, dengan memanfaatkan
jaringan rel PT KAI (idem).
Ironisnya, berbagai proyek itu merupakan rekomendasi Proyek
Efisiensi Perkeretaapian (PEP) PT KAI, yang dibiayai dengan hutang US$
85 juta dari Bank Dunia. Rekomendasi itu ditindaklanjuti dengan hutang
41 milyar Yen dari pemerintah Jepang melalui JBIC (Japan Bank for
International Cooperation) untuk pembangunan rel double track dan
pembelian gerbong‐gerbong bekas dari Jepang, serta hutang US$ 194,88
juta dari pemerintah RRT untuk pembangunan rel double track antara
Yogyakarta dan Kutoarjo (Nikmah & Wijiyati 2008: 1, 13‐4).
Dengan kata lain, perusahaan kongsi keluarga Tjokrosaputro, Hatta
Rajasa, dan Hartanto Edhie Wibowo mengambil keuntungan dari
akumulasi hutang Republik Indonesia kepada Bank Dunia serta
pemerintah Jepang dan RRT, sewaktu Hatta Rajasa menjabat sebagai
Menteri Perhubungan. Kalau begitu, apakah SBY – siapapun wakil
presidennya – dapat menyangkal bahwa ia menganut pola ekonomi neo‐
liberalis, yang mendahulukan kepentingan modal besar ketimbang
kepentingan rakyat?
Pencatatan saham PowerTel dilakukan 18 September 2008, dengan
PT BNI Securities sebagai penjamin. Timbul pertanyaan: apakah faktor
perkerabatan antara pelaku‐pelaku bisnis itu dengan keluarga Cikeas, ikut
mempermulus hubungan antara PowerTel dengan BNI Securities? Soalnya, Gatot Mudiantoro Suwondo, yang menjadi Dirut BNI sejak 6
Februari 2008, setelah sebelumnya menjadi direktur bank syariah Bank
Danamon, masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono, dari fihak isterinya (McBeth
2007; Tribun Batam, 7 Febr. 2008; www.liputan6.com/ekbis/?id=15450, 6 Febr.
2006).
Ternyata, ada aspek lain di balik perkongsian Dicky Tjokrosaputro
dengan keluarga SBY dan Hatta Rajasa, yakni mencari perlindungan
terhadap tekanan Bank Mandiri. Soalnya, melalui PT Hanson International
Tbk yang bergerak di bidang pertambangan batubara, tiga bersaudara
Benny, Teddy, dan Dicky Tjokrosaputro, masih berhutang Rp 152,5 milyar
kepada Bank Mandiri, yang hanya bagian kecil dari hutang kelompok PT
Suba Indah Tbk sebesar Rp. 1,28 trilyun kepada bank itu. Kata Abdul
Rachman, Direktur Special Asset Management Bank Mandiri, meskipun
salah satu debitur Suba Indah ada yang terkait dengan keluarga Cikeas,
Bank Mandiri tidak akan mundur dalam menagih utang. “Suba Indah
harus dikejar lagi. Utangnya masih besar, masih banyak. Ya tentu kami
masih tagih terus. Kami akan kejar dengan cara apapun”, ujar Abdul
Rachman (Warta Ekonomi, 2‐15 Nov. 2009: 69‐70; www.jakartapress.com, 4
Agustus 2008).
Kembali ke PT Powertel, boleh jadi, tidak ada hubungan bisnis
khusus antara Gatot Mudiantoro Suwondo dengan Hartanto Edhie
Wibowo. Sementara itu, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono itu juga
dipercayai memangku berbagai jabatan penting dalam Partai Demokrat,
sebagai Ketua Departemen BUMN.
Sedangkan putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab
dipanggil “Ibas”, dipercaya oleh ayah dan pamannya, Hadi Utomo, Ketua
Umum DPP Partai Demokrat, menjadi Ketua Departemen Kaderisasi DPP
Partai Demokrat. Ibas juga ikut Center for Food, Energy, and Water Studies (CFEWS), lembaga, yang digagas Heru Lelono, staf khusus Presiden SBY,
yang pernah bikin heboh dengan “Enerji Biru” dan padi Super Toy (Tempo
Interaktif, 3 Nov. 2008).
Ibas juga sudah terjun ke dunia bisnis, khususnya ke produksi kue
kering, dengan menjadi Asisten Direksi PT Gala Pangan, menurut situs
kpu.go.id. Untuk mengetahui riwayat bagaimana ia mulai terjun ke bisnis
itu, bacalah Box I berikut:
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
BOX I: KISAH IBAS DAN BISNIS KUE KERINGNYA
EDHIE Baskoro Yudhoyono baru selesai menempuh pendidikan diplomanya di Curtin
University of Technology, Perth, Western, Australia, 26 Februari 2005, ketika keluarga Cikeas
menggelar rapat keluarga untuk membahas masa depan putra bungsu SBY itu. Materi
pembicaan seputar keinginan Ibas ‐‐ demikian sapaan lajang kelahiran Bandung, 24 November
1980 itu ‐‐ untuk menerapkan dua gelar diploma yang diraihnya selama tujuh tahun, Bachelor of
Commerce Finance dan Electronic Commerce, ke dunia kerja.

Namun, pembicaraan yang berlangsung serius tapi santai itu menemui jalan buntu. Posisi SBY
sebagai presiden membuat mereka kesulitan mencari kata temu untuk menentukan bisnis apa
yang cocok untuk Ibas. SBY dan anak‐istrinya tentu tidakbisa sembarangan melakukan bisnis.
“SBY sangat memahami hal itu,” ujar sumber di lingkungan keluarga Cikeas kepada Indonesia
Monitor, pekan lalu.

Alhasil, obrolan keluarga yang diselingi hidangan singkong goreng, jajanan pasar, dan teh
manis itu pun tidak menghasilkan putusan apapun. Sebagai kepala keluarga, SBY berusaha
membesarkan hati putra kesayangannya itu. “Nggak usah buru‐buru. Insya Allah, nanti pasti
akan ada jalan,” ujar SBY, seperti diungkapkan sumber.

Hingga suatu hari, masih menurut sumber, kegalauan keluarga Cikeas itu sampai ke telinga
seorang konglomerat pemilik usaha food manufacture, salah satu produknya adalah kopi bubuk
kemasan merek terkenal. Selama ini, pengusaha keturunan itu sudah kenal dekat dengan
keluarga Cikeas. “Dia menawarkan diri untuk mendidik Ibas berbisnis,” ungkapnya. Ibas dan
‘suhu bisnisnya’ sepakat memproduksi biskuit dengan merek dagang Bisco di bawah bendera PT Gala Pangan. Setelah itu, mereka mencari lokasi pabrik. Yang dipilih sebagai basis usahanya
adalah kawasan industri Jababeka 2, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, sekitar 35 km arah timur
Jakarta, tepatnya di Jalan Industri IV Blok PP‐3.

Menurut sumber, lokasi PT Gala Pangan berada di bagian belakang kawasan industri Jababeka.
Jalanan masuk ke lokasi dulunya rusak parah. “Namun, setelah tahu di situ dibangun pabrik
milik Ibas, pihak pengelola Jababeka langsung meng‐hotmix jalan menuju kawasan tersebut,”
tuturnya. Tak hanya aspal hotmix. Sesuai kebutuhan, pabrik dengan omzet 1‐2,5 juta dolar AS
itu membutuhkan gas LPG dalam jumlah banyak untuk mengaktifkan pengovenan. Saat itu,
pipa gas LPG belum masuk kawasan itu. “Tak selang lama, pipa gas dibangun masuk ke
kawasan tersebut,” ujarnya.

Kini, PT Gala Pangan sudah berproduksi. Dengan memperkerjakan karyawan sebanyak 150
orang, biskuit produk Gala Pangan dilempar ke pasar ekspor, meliputi pasar‐pasar utama di
Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika,
dan Oceania. Ketika Indonesia Monitor berkunjung ke pabrik tersebut, Jumat (12/6) pagi, suasana
masih terlihat sepi. Lokasi PT Gala Pangan cukup mewah dan strategis. Dibanding pabrik‐
pabrik lain di kawasan tersebut, Gala Pangan tampak istimewa.

Pagarnya bagus, halamannya luas, dan bangunan gedungnya terlihat rapi. Terletak di sebuah
pertigaan Jalan Industri Selatan IV dan Jalan Industri Selatan V, pabrik Gala Pangan terbagi
dalam tiga bagian utama, yakni di bagian depan untuk kantor, bagian sisi kiri dan kanan untuk
produksi dan gudang. Halaman parker cukup luas. Namun, yang paling istimewa adalah saat
pabrik tersebut akan dibangun. “Peletakan batu pertama oleh Pak SBY,” ujar seorang sekuriti
PT Gala Pangan kepada Indonesia Monitor. Dia menuturkan, pabrik kue tersebut memang milik
Ibas. Pada awal‐awal produksi, Ibas sering datang ke pabrik tersebut.

Tapi, menurut dia, akhir‐akhir ini Ibas jarang berkunjung. “Pak Ibas sudah lama tidak ke sini.
Sejak maju sebagai caleg, dia jarang ke sini, mungkin sibuk,” ujarnya. Dalam ingatannya, Ibas
terakhir datang ke pabriknya sekitar lebaran haji tahun lalu. “Itu pun hanya sebentar,”
imbuhnya. Menurut sekuriti yang namanya dirahasiakan, ia tidak tahu mengapa Ibas jarang
berkunjung ke pabrik miliknya. “Sepengetahuan saya, Pak Ibas masih menjadi komisaris di
sini. Sebab dulu sebelum maju jadi caleg, dia sering datang ke sini, sekarang saja yang agak
jarang,” lanjutnya.

Keterlibatan Ibas dalam bisnis biskuit secara implisit dibenarkah oleh Staf Khusus Ibu Negara
Ani Yudhoyono, Nurhayati Ali Assegaf. Awalnya, Wasekjen Partai Demokrat itu tidak mau
mengaku soal bisnis Ibas. “Saya nggak tahu, jujur saya nggak tahu,” ujar Nurhayati kepada Indonesia Monitor, Kamis (11/6).

Setelah didesak, akhirnya ia mengakui, meski tidak yakin. “Jujur saya nggak tahu kalau Mas
Ibas punya pabrik itu. Saya memang pernah dengar Mas Ibas, kalau nggak salah, berbinis kue
kering. Itu kalau nggak salah ya. Tapi, pastinya saya nggak tahu bisnis apa. Yang saya tahu,
Mas Ibas di politik,” paparnya. Namun, kalau pun benar berbisnis, menurut Nurhayati, tidak
ada salahnya, karena bisnis yang digeluti adalah di sektor swasta dan tidak terlibat kerjasama
dengan perusahaan BUMN maupun BUMD. “Apa salahnya anak presiden berbisnis,”
gugatnya.

Argumen Nurhayati didukung oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie. Menurutnya,
yang dimaksud larangan berbisnis, seperti yang pernah dilontarkan SBY, adalah berbisnis
dengan mengambil dana APBN. “Itu konkretnya. Kalau ada anak pejabat berbisnis, punya
pabrik, punya industri yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah, tidak ada kaitannya
dengan APBN, ya boleh‐boleh saja kan,” ujar Marzuki Alie kepada Indonesia Monitor, Selasa
(9/6).

sumber: Sri Widodo, Moh Anshari
http://www.indonesia‐monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=
2473&Itemid=33
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐






YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE NY. ANI
YUDHOYONO:
Bukan hanya SBY, melainkan isterinya, Ny. Ani Yudhoyono, yang
aktif membina beberapa yayasan. Yayasan‐yayasan ini diketuai oleh
beberapa orang isteri Menteri dan pejabat kenegaraan yang lain, yakni
Yayasan Mutu Manikam Nusantara, yang diketuai Ny. Herawati
Wirayuda (isteri Menlu waktu itu); Yayasan Batik Indonesia, yang diketuai
oleh Yultin Ginanjar Kartasasmita (isteri Ketua DPD Ginanjar
Kartasasmita), dan Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai oleh Ny.
Triesna Wacik, isteri Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,
merangkap Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.
Di antara ketiga yayasan itu yang paling kontroversial adalah
Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Bukan karena diketuai oleh isteri
Menlu waktu itu, tapi karena jabatan Bendaharanya dipegang oleh
Artalyta Suryani, yang lebih akrab dengan panggilan “Ayin”. Kedekatan
Ayin – yang tertangkap tangan menyogok jaksa Urip Tri Gunawan ‐‐
dengan Ani, mengurangi ketegasan KPK dalam membongkar seluruh
jejaring korupsi di belakang sang ‘markus’ (makelar kasus), khususnya
Syamsul Nursalim, boss Gajah Tunggal, yang terlibat dalam skandal BLBI
yang masih menyisakan kerugian Rp 4,2 trilyun bagi Negara. Ironisnya,
Ny. Ani Yudhoyono ‐lah yang meresmikan Alun‐Alun Indonesia milik
Syamsul Nursalim, tanggal 29 Oktober 2007 (lihat Lampiran 4: Kemilau
Persengkongkolan di Mutu Manikam).
Yayasan kedua yang ikut didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah
Yayasan Batik Indonesia yang diketuai oleh Ny. Yultin Ginanjar
Kartasasmita. Dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri yang
(ikut) diselenggarakan oleh yayasan ini, telah menonjol produk
perusahaan baru bermerek Allure. Perusahaan baru itu segera mengundang perhatian karena dua hal. Pertama, lebih dari selusin gerai
perusahaan itu telah dibuka di Indonesia, Singapura dan Malaysia,
sementara beberapa gerai sedang dirintis di London dan Moskow. Kedua,
batik Allure telah mengangkat menantu SBY yang pernah dinobatkan
menjadi duta batik Indonesia (Annisa Pohan) dan anaknya (Aira
Yudhoyono) sebagai ikon perusahaan itu.





FOTO‐FOTO AIRA YUDHOYONO SEBAGAI IKON ALLURE KIDS &
DALAM GENDONGAN IBUNYA, ANNISA POHAN
(CANTUMKAN)

Adanya potensi konflik kepentingan antara Ny. Ani Yudhoyono
sebagai pembina yayasan itu, dan perusahaan batik baru yang telah
mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon, belum banyak disorot
orang. Termasuk ketika koleksi batik Ny. Ani Yudhoyono dan Ann
Durham, ibunda Presiden AS, Barack Husein Obama di Alun‐Alun
Indonesia di Grand Indonesia Shopping Town, 17 November yang lalu.
Publik tampaknya juga tidak tahu, bahwa gedung itu milik Gajah Tunggal,
salah satu konglomerat yang belum membereskan hutangnya pada
Negara, dalam kerangka BLBI (lihat Lampiran 5: Allure meluncur di Alur
Yayasan Batik Indonesia).




FOTO‐FOTO ARTHALYTA DAN ANI YUDHOYONO,
ANI YUDHOYONO MERESMIKAN ALUN‐ALUN INDONESIA
& SBY DAN ISTERINYA MENGHADIRI PERNIKAHAN ANAK
SYAMSUL NURSALIM




Yayasan ketiga yang didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah
Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai Ny. Triesna Wacik, isteri Menteri
Kebudayaan & Pariwisata, Jero Wacik. Di sini ada juga potensi konflik
kepentingan antara keluarga Jero Wacik dengan yayasan itu, dan antara
keluarga Wacik dengan keluarga Cikeas. Soalnya, salah satu perusahaan
milik Menbudpar yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas,
PT Puri Ayu yang berkantor di Bali dan Jakarta, bergerak di bidang disain
tekstil. Selain itu, kita juga masih ingat bahwa Jero Wacik adalah Ketua
Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.


FOTO PASANGAN JERO & TRIESNA WACIK


Para pengusaha yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran
mutu manikam, batik, dan sulaman, dapat ikut menikmati promosi yang
dibayar dari uang rakyat, dengan berlindung di bawah ketiga payung
yayasan yang berafiliasi ke Ny. Ani Yudhoyono ini. Namun yang paling
menimbulkan tanda tanya bagi tokoh‐tokoh masyarakat adalah kedekatan
Artalyta Suryani (“Ayin”) dengan Ani Yudhoyono, berkat posisi Artalyta
sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Soalnya, diduga
berkat kedekatan antara Ayin dan Ani, salah seorang taipan besar
pengemplang dana BLBI, yakni Syamsul Nursalim, dapat lolos dari jerat
hukum, seperti di era Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri (lihat
Lampiran 4).
Peranan yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani
Yudhoyono dalam memobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk
pemilihan kembali SBY sebagai Presiden untuk kedua dan terakhir
kalinya, membuka jalan bagi berbagai jenis pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh para pendukungnya. Soalnya, duplikasi anggota pengurus
yayasan‐yayasan itu dengan berbagai tim sukses yang tidak secara resmi
terdaftar personalia maupun sumber‐sumber pembiayaannya (lihat
Lampiran 1), melancarkan jalan bagi penyaluran sumbangan bagi
kampanye Pemilu legislatif Partai Demokrat dan Pilpres SBY‐Boediono ,
melampaui batas‐batas yang diperkenankan oleh Pasal 131 dari UU No.
10/2008, yakni Rp satu milyar rupiah untuk perorangan) dan lima milyar
rupiah untuk kelompok, perusahaan dan badan usaha non‐pemerintah.
Maklumlah, pelanggaran terhadap Pasal 131, yang diatur dalam Pasal 276,
diancam pidana penjara antara enam sampai 24 bulan, serta denda antara
satu sampai lima milyar rupiah.
Kecurigaan itu sangat beralasan, apabila keuangan yayasan‐yayasan
itu tidak di‐audit oleh auditor yang independen. Potensi konflik
kepentingan antara keuangan publik yang dikelola oleh pemerintah, dan keuangan yayasan‐yayasan itu, barangkali paling besar pada Yayasan
Kesetiakawanan dan Kepedulian. Soalnya, tiga orang Menteri dan seorang
pejabat setingkat Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II merangkap
sebagai anggota Dewan Pembina yayasan itu, yakni Djoko Suyanto,
Purnomo Yusgiantoro, M.S. Hidayat dan Sutanto. Sedangkan Bendahara
yayasan itu dijabat oleh Dessy Natalegawa, adik kandung Menlu Marty
Natalegawa.
Ketiga yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono, yakni Yayasan
Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia, dan Yayasan Sulam
Indonesia, juga berpotensi untuk melakukan kegiatan yang tumpang
tindih dengan Departemen‐Departemen atau lembaga‐lembaga yang
dipimpin – atau pernah dipimpin ‐‐ oleh suami‐suami para ketua yayasan‐
yayasan itu, yaitu Departemen Luar Negeri dalam hal Yayasan Mutu
Manikam Nusantara, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam hal Yayasan
Batik Indonesia, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal
Yayasan Sulam Indonesia.
Di samping itu, ketua‐ketua yayasan yang dibina oleh Ny. Ani
Yudhoyono itu adalah anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu
(SIKIB), yang juga dipimpin oleh isteri‐isteri Presiden dan Wakil Presiden.
Duplikasi antara kegiatan yayasan dan instansi‐instansi pemerintah,
juga sangat berpotensi terjadi pada yayasan‐yayasan yang berafiliasi
dengan SBY sendiri, misalnya dengan Departemen Agama, dalam hal
Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam dengan program pengiriman
ulama berumroh ke Arab Saudi, serta dengan berbagai Departemen dan
Pemerintah Daerah, dalam hal Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan
Kesetiakawanan dan Kepedulian. Itu sebabnya, auditing terhadap
keuangan yayasan‐yayasan itu menjadi semakin penting.Bukan cuma
duplikasi, malah dualisme pemerintahan, dapat terjadi apabila yayasan‐yayasan ini dibiarkan berkembang dengan bebas, seperti yang telah kita
alami di masa kediktatoran Soeharto, dengan seribu satu yayasannya (lihat
Aditjondro 2003, Ismawan 2007: 66‐89).

PELANGGARAN‐PELANGGARAN UU PEMILU OLEH CALEG‐
CALEG PARTAI DEMOKRASI :
Potensi pelanggaran UU Pemilu karena perangkapan jabatan
sejumlah pejabat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dengan anggota
kepengurusan yayasan‐yayasan itu, masih dibarengi dengan pelanggaran
hukum yang telah dilakukan oleh sejumlah kader Partai Demokrat.
Pemilu kali ini ditandai wabah pembelian suara yang semakin terang‐
terangan, dibandingkan dengan pemilu‐pemilu yang lalu. Padahal,
praktek ini jelas‐jelas dilarang oleh UU No. 10/2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, DPRD. Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta
dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta kampanye”.
Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih
Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”.
Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara Rp.
6.000.000 dan Rp. 24.000.000, menurut Pasal 270 dan 274.
Padahal praktek pembelian suara yang dilakukan oleh caleg‐caleg
Demokrat di berbagai wilayah, merupakan salah satu faktor kemenangan
Partai Demokrat yang begitu fantastis, yakni melonjak nyaris tiga kali lipat
dari 7% menjadi 20% lebih. Ambillah sebagai contoh di Sumatera Utara. Waktu kampanye
pemilu lalu, Marlan Nainggolan, caleg PDP di Tapanuli Utara (Taput)
membagi‐bagi kerbau dan babi ke pemilih, Sihar Sitorus, anak DL Sitorus,
pengusaha pembalakan hutan, yang menjadi caleg PPRN, menyumbang
Rp 3 juta ke gereja HKBP dekat bandara Silangit. Sedangkan Fernando
Sihombing, caleg Golkar membagi sekarung pupuk kepada setiap pemilih.
Namun itu semua belum apa‐apa dibandingkan dengan
“sumbangan” Jhonny Allen Marbun, caleg Demokrat yang terlibat kasus
suap Rp 1 milyar untuk proyek Dephub (Tempo, 5 April 2009). Ia berulang
kali mengumpulkan petani di Humbang Hasundutan (Humbahas), Taput,
dan Samosir, dan membagi‐bagi puluhan ton bibit jagung kepada mereka.
Januari lalu, di Dolok Sanggul, ibukota Humbahas, ia menyerahkan 500
baju batik buat para kepala desa, 21 unit komputer untuk sekolah, dan Rp
200 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid.
Sebelumnya, 4 Januari 2009, dalam upacara di tanah lapang
Pangururan, Samosir, yang dihadiri Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai
Demokrat yang ipar SBY, selain membagi‐bagi bibit jagung kepada petani,
Jhonny Allen menyerahkan Rp 300 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid
serta 20 unit komputer untuk sekolah. Berbagai “sumbangan” itu ikut
mendorong Jhonny Allen memenangkan tiket Demokrat ke Senayan,
untuk kedua kalinya, dengan memperoleh 91.763 suara.
Pelanggaran terhadap Pasal 84 dan 87 UU No. 10/2008, tidak cuma
terjadi di Sumatera Utara, tapi juga di basis‐basis kemenangan Partai
Demokrat yang lain, yang sempat penulis amati, seperti di Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah, dan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di
Poso, Amsal Hasyim, seorang caleg dari Partai Demokrat, menjanjikan
pembagian pesawat televisi dan traktor tangan buat mereka yang mau
memilih partai berwarna biru itu. Janji itu, baru direalisasikan akhir November lalu, dan diterima dengan suka cita. Rupanya rakyat di bekas
daerah konflik itu tidak menyadari bahwa janji yang diobral kader Partai
Demokrat itu, melanggar Pasal 87 UU No. 10/2008 itu.
Walhasil, Amsal Hasyim, kontraktor yang disuruh oleh Piet
Inkiriwang, purnawirawan polisi yang Bupati merangkap ketua DPC
Partai Demokrat Kabupaten Poso, untuk mengetuai PAC Partai Demokrat
Kecamatan Pamona Utara di Tentena, berhasil menjadi anggota DPRD
Kabupaten Poso dari Partai Demokrat.
Di Jawa Tengah, terjadi juga banyak kasus pembelian suara (vote
buying) atau ‘politik uang’ (money politics), yang melibatkan caleg Partai
Demokrat maupun partai lain, namun hanya sedikit yang ditangani oleh
Panwalu dan disidangkan. Yang ditangani oleh Panwaslu misalnya adalah
laporan dari YSA Widayana, warga Karang, Plumbon, Mojolaban di
Kabupaten Sukoharjo. Ia melaporkan tindakan Bambang yang meminta
warga untuk memilih Partai Demokrat (Seputar Indonesia, 11 April 2009).
Lebih menghebohkan lagi adalah kasus pelanggaran Pemilu 2009
yang mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul, hari Jumat, 8 Mei
2009. Kedua terdakwa dalam kasus itu adalah Sri Yuli Waryati, caleg
untuk DPRD Bantul dari Dapil 2 dan Siti Shoimah, caleg DPRD DIJ dari
daerah pemilihan Kabupaten Bantul. JPU Widagdo M. Petrus menuntut
kurungan tiga hingga 12 bulan penjara dengan denda Rp 10 juta, subsider
enam bulan kurungan, hanya karena kedua terdakwa menggelar pasar
murah di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, DIY
(Radar Jogja, 9 Mei 2009).
Ceritanya begini. Pada saat bazar murah digelar, Minggu, 29 Maret,
Sri Yuli Waryati membagi kupon pembelian sembako, yang hanya
diberikan kepada warga yang telah mengisi formulir dan menjadi anggota
Partai Demokrat. Hari Minggu berikut, 5 April, Sri Yuli Waryati memperkenalkan Shoimah kepada masyarakat di Lapangan Mangir Loro,
dengan membagi‐bagi uang sebesar Rp 5 ribu seorang dan selembar kaos
oblong (idem).
Semua itu belum apa‐apa, dibandingkan dengan pembelian suara
yang dilakukan oleh putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY),
alias Ibas, di kampung halaman ayahnya di Pacitan, Jawa Timur, April
lalu. Menurut laporan dua orang saksi, tim kampanye EBY membagi‐bagi
amplop berisi uang Rp 10 ribu disertai foto EBY ke calon‐calon pemilih di
Desa Clembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, 3 April lalu.
Namun setelah kasus ini terungkap di berbagai media lokal dan
media online, bukan Bawaslu dan Panwaslu yang bergerak, melainkan
Polri, sedangkan para pimpinan media yang bersangkutan mendapatkan
teguran keras dari jurubicara kepresidenan, Dino Patti Djalal. Kedua saksi
–M. Naziri dan Bambang Krisminarso – serta pimpinan situs
JakartaGlobe.com dan Okezone.com, dan wartawan Harian Bangsa diperiksa
oleh polisi, dengan tuduhan pencemaran nama baik EBY juncto
pelanggaran pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 tentang Teknologi Informasi
juncto pasal 55 KUHP.
Akhirulkalam, Kapolda Jatim Irjen (Pol) Anton Bachrul Alam
membantah bahwa EBY telah melakukan money politics, malah sebaliknya
menuduh para saksi dan pekerja media melakukan pencemaran nama baik
putra presiden, yang juga berarti, penistaan terhadap presiden (Antara
News, 8 April 2009).
Walaupun semua tertuduh akhirnya dibebaskan, EBY pun
dibebaskan dari tuduhan pelanggaran Pasal 84 UU No. 10/2008, dan
berhasil mengalahkan para caleg lain, termasuk Ramadhan Pohon,
pesaingnya yang separtai, mendapatkan tiket ke Senayan. Padahal, seperti kesaksian salah seorang pimpinan media yang diperkarakan, pembagian
amplop berisi uang dan foto EBY itu betul‐betul terjadi.
Ada lagi pelanggaran pasal dalam UU No. 10/2008, yang telah
menghasilkan banyak suara pemilih buat Partai Demokrat, malah
kemenangan yang hampir mutlak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Dalam Pemilu lalu mantan kombatan yang beralih menjadi anggota Partai
Aceh (PA) bebas “menuntun” pemilih yang tua dan butahuruf
mencontreng caleg dan logo PA dan Demokrat, terutama di bekas basis
GAM, tanpa dihalangi aparat keamanan. Makanya, di sebuah kecamatan
di Kabupaten Pidie, Demokrat mendapatkan 100% suara untuk DPR‐RI
dan PA 100% suara untuk DPRA dan DPRK. Hasilnya, perolehan suara
teratas di Aceh direbut oleh PA, disusul oleh Demokrat, Golkar, dan PKS.
Sedangkan partai lokal lain, hanya memperoleh beberapa kursi di DPRA
dan DPRK‐DPRK.
Makanya, perlu dipertanyakan, apakah “bantuan” yang diberikan
oleh para kader PA untuk menuntun para pemilih yang tua dan buta
huruf, untuk secara khusus mencontreng logo dua partai saja, satu untuk
duduk di DPR‐RI dan satunya lagi untuk duduk di DPR Aceh dan DPR
Kabupaten, tidak bertentangan dengan Pasal 156 UU No. 10/2008, ayat 1
dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu
oleh orang lain atas permintaan pemilih.
Ayat 2: Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan
pilihan pemilih. Memang, kebanyakan pemilih yang tua dan buta huruf, belum tentu
menderita halangan fisik yang digambarkan dalam Pasal 156 ini. Namun
inti pasal ini adalah bahwa semua orang harus mendapatkan kesempatan
yang sama untuk memilih calon yang diharapkannya dapat membawakan
aspirasinya. Nah, apakah dengan menggiring secara halus satu bagian
yang cukup besar untuk memilih satu partai nasional, yang belum
dikenalnya, jiwa pasal ini terpenuhi? Atau justru dilanggar?
Melihat banyaknya pelanggaran UU Pemilu yang telah terjadi selama
Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, mulai dari besarnya biaya kampanye
yang dikelola oleh tim‐tim siluman yang tidak terdaftar personalia
maupun anggarannya, pembelian suara lewat pembagian uang dan barang
kepada pemilih, termasuk yang dilakukan oleh Edhi Baskoro Yudhoyono,
bantuan negara asing seperti melalui IFES (International Foundation for
Electoral Systems), ornop AS yang dibantu oleh USAID, yang dilibatkan
oleh KPU dalam proses penghitungan suara, serta penggiringan suara
sebagian besar pemilih di Aceh, maka legalitas hasil Pemilu yang lalu patut
dipertanyakan.
Walaupun partai‐partai lain ikut menjalankan berbagai pelanggaran
UU Pemilu itu, namun Partai Demokrat, yang merupakan kendaraan
politik incumbent president, tidak menunjukkan teladan dalam mematuhi
UU Pemilu. Hanya saja, kenetralan KPU dan Bawaslu yang patut
dipertanyakan, serta pembelokan perhatian publik akibat peledakan bom
di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu, membuat
semua kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu belum sempat disorot
secara mendalam.



KESIMPULAN
Uraian dalam buku ini mudah‐mudahan tidak hanya menjawab
rahasia di balik skandal Bank Century, melainkan lebih luas lagi, yakni
menjawab rahasia di balik kemenangan yang begitu fantastis dari Partai
Demokrat, yang naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan, dari
sekitara 7 % menjadi sekitar 20%.
Penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara
(vote buying) sesungguhnya memainkan peranan yang besar dalam
melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya, dan
bukan hanya kehebatan kharisma SBY dan kesuksesan periode
kepresidenannya yang lalu, yang dikemas dengan hebat oleh Fox
Indonesia dalam iklan‐iklan televisinya.
Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR
untuk mengungkapkan skandal Bank Century, walaupun akhirnya ikut
mendukung prakarsa sebagian anggota DPR, bahkan tanpa malu‐malu
menunjukkan keinginan menjadi Ketua Panitia Khusus hak angket itu,
menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi‐petinggi partai itu
untuk menutupi hal‐hal yang mencurigakan dalam pemberian dana
talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Walaupun belakangan ini ada gerakan dari sejumlah individu Partai
Demokrat untuk menangkis tuduhan bahwa mereka menerima dana
puluhan, bahkan ratusan milyar rupiah dari Bank Century, toh masih ada
tanda tanya, ke mana larinya lima trilyun rupiah yang lenyap ke tangan
“fihak ketiga” dalam hanya kurang dari setahun (Juni 2008 – Juni 2009). Sorotan terhadap beberapa beberapa nasabah terbesar Bank Century,
khususnya Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna, sangat wajar,
mengingat besarnya bantuan kedua kelompok bisnis yang mereka pimpin
bagi kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya, yang dimulai oleh
Hartati Murdaya menjelang Pemilu 2004 dan semakin meningkat
menjelang Pemilu 2009.
Sedangkan dari kelompok Sampoerna, investigasi kami menemukan
dukungan dana sebesar Rp 90 milyar kepada kelompok media Jurnal
Nasional yang dekat dengan Partai Demokrat dan SBY sejak 2006, di saat
injeksi dana ke kelompok Jurnas mulai digantikan oleh pengusaha‐
pengusaha yang dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah pimpinan Gatot
Mudiantoro Suwondo, yang kebetulan juga Direktur Utama BNI.
Kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat, yang
terdongkrak oleh besarnya biaya “pencitraan” SBY melalui media, serta
meluasnya jangkauan “kedermawanan” yayasan‐yayasan yang berafiliasi
ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, membuat keluarga Cikeas semakin
tergantung pada sejumlah pengusaha kelas kakap yang berasal dari era
Soeharto, seperti Syamsul Nursalim, Hartati Murdaya, dan kelompok
Sampoerna, maupun yang muncul di era SBY, seperti PT Powertel dan
Batik Allure.
Kebutuhan akan dana kampanye yang begitu besar, dibarengi
dengan ambisi sebagian anggota Dinasti Sarwo Edhie Wibowo untuk
memperkaya diri mereka, menimbulkan kerentanan keluarga Cikeas
terhadap pengusaha‐pengusaha dan makelar‐makelar kasus yang
berusaha menempel ke keluarga itu, seperti Syamsul Nursalim, salah
seorang pengemplang dana BLBI, yang sudah berhasil mengelabui tiga
presiden berturut‐turut, berkat kedekatan Arthalyta Suryani, yang juga
dikenal sebagai “Ayin”, dengan Ani Yudhoyono, dalam kedudukannya sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara yang diketuai oleh
isteri mantan Menlu Hasan Wirayuda.
Berbicara lebih lanjut tentang yayasan‐yayasan yang dibina oleh SBY
dan Ny. Ani Yudhoyono, kita bisa lihat bahwa kepengurusan yayasan‐
yayasan itu bukan orang‐orang yang punya latar belakang dalam
kedermawanan (filantropi), melainkan terdiri dari sejumlah menteri,
mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan se‐
angkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha, dan anggota keluarga besar
SBY‐Ani Yudhoyono yang juga sudah terjun ke bidang usaha, yakni
Hartanto Edhie Wibowo dan Edhie Baskoro Yudhoyono.
Hartanto, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono, telah terjun ke bisnis
serat optik di PT Powertel, bersama adik Menko Perekonomian M. Hatta
Rajasa, dan pada awalnya difasilitasi proyek‐proyeknya oleh Hatta Rajasa,
selagi yang bersangkutan masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan.
Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu SBY dan Ny. Ani
Yudhoyono, baru mulai terjun dalam bisnis kue kering, dibantu oleh
seorang pengusaha swasta yang sudah berlangganan di bidang itu.
Dengan demikian, mantan jenderal yang mulai 20 Oktober lalu
mengendalikan kendali republik ini, perlu bekerja keras untuk
menciptakan pemerintahan bersih di negeri kita. Guna mengakhiri tradisi
politik buruk yang dirintis mendiang Jenderal Soeharto, SBY perlu
bersikap lebih tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, agar tidak ada
anak, ipar, kerabat atau sahabat yang mengambil jalan pintas
mengembangkan bisnis mereka dengan mendekati bankir‐bankir
pemerintah serta birokrat‐birokrat papan atas, untuk mendapatkan order‐
order kelas kakap.
Tambahan lagi, SBY juga perlu mendorong kerabat dan sahabatnya
untuk menolak pemberian kemudahan dalam penyediaan jasa jalan, listrik, dan bahan bakar bersubsidi, buat pengembangan pabrik yang baru
berdiri kemarin sore.
Sikap tegas terhadap keluarga dan sahabat merupakan dasar moral
untuk mengambil sikap tegas terhadap semua pejabat yang melakukan
komersialisasi jabatan, sebagaimana teladan Presiden Korea Selatan, Kim
Young San, yang menjebloskan kedua pendahulunya – Chun Doo‐Hwan
dan Roh Tae‐Woo – ke penjara, karena korupsi dan pembantaian aktivis
pro‐demokrasi. Walaupun kemudian kedua jenderal itu diberinya grasi
dari vonis hukuman mati dan hukuman penjara 22,5 tahun, Presiden
Korsel itu juga menyerahkan anaknya, Kim Hyon Chul, untuk diadili,
karena sang anak menerima sogokan dari maskapai Hanbo Steel, konon
untuk menggalang dana bagi kampanye ayahnya (Alkostar 2008: 176‐80;
Washington Post, 25 Januari 2007; New York Times, 18 Mei 1997).
Selanjutnya, untuk mengakhiri tradisi yang dirintis oleh Soeharto,
sebaiknya yayasan‐yayasan yang menggunakan nama SBY maupun nama
kediaman pribadinya, berhenti memanfaatkan figur‐figur pemerintah
dalam struktur organisasinya.
Rakyat yang cerdas juga tidak akan menuntut Kepala Negara
memberi makan ribuan orang miskin di Istana Negara atau kediaman
pribadinya, sebab Presiden bukanlah Raja yang kaya raya, dan memberi
makan fakir miskin bukan tugas Presiden dan keluarganya, melainkan
merupakan tugas sejumlah lembaga resmi, sesuai dengan ketentuan Pasal
34 Undang‐Undang Dasar 1945.
Yayasan‐yayasan yang ada kaitan dengan SBY, Ny. Ani Yudhoyono,
serta kerabat dan sahabatnya, sebaiknya diaudit oleh auditor publik yang
independen, dan hasilnya dilaporkan ke parlemen, serta terbuka bagi
media dan internet. Bukan diaudit oleh auditor langganan para bankir
yang juga duduk dalam pengurus yayasan‐yayasan itu.
Tujuan semua langkah itu supaya yayasan‐yayasan sosial yang
dekat dengan oknum‐oknum penguasa jangan lagi menjadi pembuka jalan
bagi korporasi‐korporasi raksasa untuk mendapat perhatian khusus dari
pemerintah, seperti tradisi Orde Baru (lihat Radjab 1999: 47‐8; Aditjondro
2003; Aditjondro 2006; Ismawan 2007; Zen & Kristianto 2007).
Dibarengi pembenahan ke dalam lingkaran kerabat dan sahabat SBY
ini, pemerintahan mendatang, didukung oleh parlemen dan lembaga
peradilan, selayaknya menjalankan transparansi dalam hal melaporkan
kekayaan dan jaringan bisnis mereka kepada rakyat Indonesia. Tujuannya
supaya rakyat dapat mengontrol pejabat yang mereka pilih dan
percayakan nasib bangsa ini lima tahun ke depan.
Jelasnya, transparansi kekayaan pejabat bertujuan supaya semua
keputusan ekonomi dan politik yang diambil, betul‐betul demi
kemaslahatan rakyat banyak, terutama mereka yang paling dipinggirkan.
Bukan demi ekspansi perusahaan milik kerabat dan sahabat, dengan dalih,
menciptakan lapangan kerja.

REFERENSI :
Aditjondro, George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing
Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Rezim Orde Baru. Jakarta: MIK (Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan)
& Pijar Indonesia.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga:
Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐(2007). ‘Dialektika antara Agency dan Struktur dalam
Penelaahan Korupsi di Indonesia: Membangun Gerakan Anti Korupsi yang
Lebih Merakyat.” Renai, No. 2, Salatiga: PERCIK, hal. 8‐23.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ (2009). “Menyambut Era SBY Kedua Yang (Mudah‐mudahan)
Lebih Bersih dari Era SBY Pertama,” Scientiae Polites, Vol. 28, hal. 1‐10.
Alkostar, Artidjo (2008). Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FH
UII Press.
Angkasa Pura II (2007). Laporan Tahunan 2007/ 2007 Annual Report: Together
We Build A Better Future. Jakarta: PT Angkasa Pura II.
Ardi, Yosef & Rahmon Amri (penyunting) (2008). JSX Watch 2008‐2009.
Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia.
Bank Bukopin (2002). Laporan Tahunan 2002. Jakarta: Bank Bukopin.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ (2006). Bank Bukopin Tbk Company Report : December 2006 As
of 28 December 2006. Jakarta: Bank Bukopin.
Ismawan, Indra (2007). Harta dan Yayasan Soeharto: Kontroversi tentang
Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto. Jakarta: PT Buku Kita.
Masayok (2008), Husein Al Habsy Minta KPK Selidiki Majelis Dzikir SBY,
posted on the internet on August 25.
McBeth, John (2007). “All the President’s Men.” The Straits Times News. 2
Agustus.
Nikmah, Siti Khoirun & Valentina Sri Wijiyati (2008). My Dear Train, My
Poor Train: Railway Efficiency Project (Proyek Efisiensi Perkeretapian). Working
Paper No. 1. Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian
Development). PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Vol. 3. Jakarta: Pusat Data Business
Indonesia (PDBI).
Radjab, Suryadi A. (1999). Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru. Jakarta:
Grasindo.
Rusly, Haris (2009). “Ini Boedi, Itu Century.” Terawang, No. 1, November,
hal. 46‐48.
Zen, Patra M. & Agustinus Edy Kristianto (2007). Menyusup Dalam Gelap:
Wajah Hitam Kejayaan Salim Group. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia.
Read more