Senin, Mei 19, 2008

MAGDALENA, serpihan cinta yang tak pernah mati…

“Pada hakekatnya setiap manusia diilhami untuk memiliki cinta.
Karena dengan begitu, manusia benar-benar hidup di dunia ini”
_Satrasia_


Jika seorang gadis mengatakan pada orang tuanya bahwa ia akan menikah atau memiliki kekasih, sang orang tua biasanya akan bertanya, “Dia bekerja dimana atau apa pekerjaannya?”. Jika didefinisikan, tentu hal itu merupakan kewajaran yang syah untuk dipertanyakan. Para orang tua senantiasa menginginkan kebaikan dan kebahagiaan yang layak untuk anaknya. Kejelasan nasib akan masa depannya, karena dia akan lepas dari tanggungjawab orang tua jika ia telah diserahkan pada suaminya kelak. Memang ada proses materialisasi cinta, tetapi hal tersebut bukan semata-mata sebagai intrik jual beli namun merupakan hanya semata-mata ingin melindungi anaknya.
Lantas, dimanakah ukuran cinta yang murni??? bagi para “pecinta” yang melihat ideal pemikiran seperti itu, hanyalah sebuah kepalsuan yang tidak termasuk kedalam keluarga orang-orang yang memurnikan cinta.
Bila cinta telah menjadi jembatan bagi segala perbedaan, segala kekurangan, dan segala kelemahan. Bahkan kekejaman seorang Hitler takan mampu menampik belaian cinta yang telah seorang “Eve” berikan. Karena dengan menghidupkan cinta dalam ruang hidupnya berarti manusia tersebut telah benar-benar hidup. Dan itulah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Orang-orang yang mengaku dirinya sebagai “pecinta”, mereka tidak akan menitikan air mata untuk kesedihan, tetapi darahlah yang akan ia suguhkan. Bila hatinya sedang berseri, maka seluruh alam akan dapat merasakan kebahagiaannya juga melebihi kebahagiaan sebuah negara yang telah makmur dan merdeka tanpa derita. Dan kata-kata yang mereka katakan senantiasa akan menjadi kitab suci yang agung, luhur dan tak terbantahkan. Penderitaan yang ia alami, akan dirasakan oleh seluruh langit lebih datsyat dari kacaunya lintasan orbit planet kita.
Bagi mereka, harta, tahta dan seluruh isi dunia tidak ada nilainya. Semuanya itu tidak sebanding dengan cinta yang bersemi dihati mereka, yang akarnya telah mereka jalarkan pada setiap urat nadi tubuhnya yang akan terus menancap kuat dan dan menumbuhkan kesadaran serta melahirkan daya juang yang tinggi sebagai pohon suci dalam hidup mereka.
Dan novel targedi yang pertama kali ditulis oleh Alphose Karr berjudul Sous les Tilleus (Dalam bahasa Prancis berarti, Di Bawah Pohon Tilia), yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh Mustafa Lutfi Al Manfaluthi, seorang sastrawan mesir yang kemudian berjudul “Al Majdulin”, hingga akhirnya sampai ke Indonesia.
Dalam novel ini, berkisah tentang dua anak manusia yang masih terbelenggu dalam kelaziman adat. Memandang pantas atau tidaknya, dengan materi yang ia miliki. Magdalena adalah gadis jujur, lembut, dan memiliki cinta yang tulus. Namun seketika itu juga ia harus berhadapan dengan sentuhan zaman yang mulai mengusik dan menggeser prinsifnya pada cinta, sehingga ia harus mengakhiri cintanya pada Stevan, seorang pemuda miskin yang diasingkan oleh keluarganya namun memilki kekuatan cinta yang besar dan tulus sehingga menumbuhkan daya juang yang tinggi untuk mendapatkan cintanya. Perjuangan untuk mendapatkan Magdalena. Yang ia sendiri harus masuk pada wilayah “pengukuran cinta untuk materi” seperti yang diinginkan ayah Magdalena.
Bagi anda sekalian yang haus akan cerita cinta Romeo dan Juliet, Layla dan Majnun.Maka wajib bagi anda untuk membaca dan memakanai novel kisah Magdalena ini.
Read more