Rabu, Januari 28, 2009

MENJADI MAHASISWA IDEALIS

“Hati setiap pemuda mengenal keinginan dan keputusasaan, yang tak dapat diajuk hanya dengan ukuran-ukuran rasional. Dilain pihak pemuda selalu dibakar oleh cita-cita dan idealisme yang tinggi-tinggi. Mereka lincah, sigap dan suka meledak karena penuh vitalitas. Mereka tenggelam dalam semangat ”tak mengenal mati”, dan untuk membuktikan semangat itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan ekstrem” (Adam Malik)

Wannabe-rebel (pemberontak tanpa misi dan prinsip yang jelas) kita hanya akan memandang sebuah pemberontakan dari sisi luarnya aja. Dan a wannabe-rebel tidak akan pernah membuat sejarah atau melahirkan pemikiran baru yang lebih baik yang bisa diwariskan pada generas berikutnya.
Kita orang timur emang seringkali binggung mengadaptasi culture barat yang sedemikian liberalnya, dimana disini masyarakat kita diikat oleh tatanan atau norma yang kadang tidak penting dan berlebihan. Masyarakat kita mencintai keseragaman dan kurang menghargai sosok-sosok idealis atau individualis. Menjadi seorang rebel memang susah untuk hidup di Indonesia, for real, tapi disanalah letak “art of the rebellion-nya”.
Perasaan tidak puas dan kegelisahan seringkali menjadi alasan yang cukup kuat menarik perhatian segolongan kecil anggota masyarakat ini untuk menjadi “pemberontak” terhadap kekakuan sistem yang ada. Sehingga, mereka seringkali mendapat cap sebagai bagian dari anak haram politik pendidikan pemerintah (Hariman Siregar, 2001).
Sesuatu yang memerlukan pengorbanan karena masyarakat kita masih cenderung melihat sisi negatif dari seorang rebel (di cap sok kebarat-baratan dll). Padahal menjadi rebel bukanlah hal yang 100% salah. Tergantung apa yang kamu lawan. Misalnya, kamu benci melihat sinetron-sinetron Indonesia yang mewah, dangkal dan mudah ditebak, lalu kamu bikin sebuah film dokumenter tentang bagaimana sinetron-sinetron tersebut membodohi masyarakat kita yang mayoritas masih hidup dibawah garis kemiskinan. Itu sebuah pemberontakan yang pintar. Sebuah counter terhadap komersialitas dan penyeragaman yang berlebihan serta anti kemapanan.
Kamu benci melihat budaya kekerasan yang semakin populer di masyarakat, lawan itu semua dan jangan ikut menjadi seperti mereka. Kamu kesal setiap kali melihat masyarakat dengan santainya membuang sampah plastik sembarangan, jadilah seorang pro-environment dan pengaruhi orang2 disekitarmu. Kamu gak tega melihat hewan2 dibunuh utk dimakan, jadilah seorang vegetarian dan daftarkan dirimu di peta2.com. Kamu bosan melihat budaya modern nan konsumtif anak muda yang manja dan kadang berlebihan, jadilah seorang berandal pasar barang bekas dan kenakan pakaian bekasmu dengan bangga dan stylish. Kamu merasa menyesal membeli majalah yang dipenuhi wajah-wajah infotainment ga penting, bikin dan cetaklah wajahmu sendiri. Bosan ama design kaos-kaos distro yang makin seragam dan cheesy, bikin clothing-line mu sendiri. Akan lebih baik jika kamu melakukan itu semua tanpa menjadi seorang fasis yang kaku. Just do your own thing.
Sejarah telah mencatat bagaimana upaya-upaya kaum muda untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Bagian kehidupan yang lebih luas yang secara tidak langsung telah memanggil peran pemuda pada persoalan-persoalan yang pelik. Keterlibatan pemuda ( dalam hal ini bisa diwakili oleh segolongan kecil mahasiswa ) menjadi bagian yang penting dengan menjadi motor penggerak dalam perubahan struktur sosial dalam masyarakat. Kehadiran mereka mewakili segolongan kecil intelektual yang memilih berumah diatas angin, tanpa berpihak pada sebuah paham ataupun kepentingan golongan tertentu. Mereka hadir untuk terus mempertanyakan kembali seluruh struktur atau perangkat pengertian politik yang ada di masyarakatnya secara menyeluruh. Mereka muncul sebagai penggugat terhadap segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ukuran-ukuran moral yang diyakininya.
Dua pemikiran di atas kemudian kritik lagi oleh Jean Paul Sartre, seorang pemikir eksistensialisme yang pemikirannya banyak berkembang di Barat hingga kini. Menurut paham eksistensialisme yang dikembangkan Sartre "manusia itu ada bukan karena apa yang dia pikirkan, melainkan yang ia perbuat."

"We-are-what-we-are-to-be."!!!

Akan tetapi yang terpenting menurut saya tentang kata idealis adalah konsistensi, sejauh mana orang atau mahasiswa tersebut konsisiten dengan gagasannnya yang dianggapnya benar. Bila seorang mahasiswa menggangap bahwa berorganisasi, atau aktif dalam memperjuangkan nasib rakyat tanpa pamrih itu dianggapnya benar atau ideal maka ia akan melakukan hal tersebut sepenuh hati tanpa harus berbuah tujuannya walaupun banyak hal yang memaksanya untuk berbuah. Dan bila seorang mahasiswa menganggap bahwa gaya hidup konsumtif, dan hedon itu sesuai dengan gagasan dan ideal menurut dia, kita tak perlu mencap dia tidak idealis karena sekali lagi ideal menurut kita belum tentu ideal menurut orang lain.
Namun demikian, tidak sedikit mahasiswa yang mampu menggambarkan dengan jelas perubahan yang dikehendakinya dengan baik, bahkan hingga mengatasi pemikiran yang berkembang saat itu. Hal ini ditunjang oleh kebiasannya berfikir, belajar dan mengkaji sesuatu dari berbagai sumber yang ia dapatkan. Kekuatan daya tangkap, daya nalar dan imajinasinya, menghantarkannya menjadi pemikir-pemikir muda yang potensial. Terlebih bila ia memang sengaja dididik, dibina, dikembangkan dalam kerangka ideologi dan untuk tujuan tertentu, maka ia akan tumbuh menjadi kader yang tangguh, agen perubahan masyarakat ke arah cita-cita yang diembannya. Usia mudanya memberikan peluang untuk mengembangkan dirinya lebih lanjut, mengasah dan menajamkan pemikirannya, meningkatkan keberanian dan nilai kejuangannya. Idealisme yang dimiliki mendorong dirinya untuk bergerak demi perjuangannya itu.
Sikap kritis mahasiswa terhadap dirinya akan mengantarkan pada kondisi masyarakat luas. Jakob Burckhardt mengistilahkannya dengan Wuhle-‘mendobrak’, bahwa sikap kritis itulah yang menjadi jaminan berfungsinya intelegensia dalam masyarakatnya serta bermutunya sumbangan pemikirannya untuk kemajuan komunitasnya. Perjuangan menegakkan idealisme itu tidak berhenti hanya pada saat ia menjadi mahasiswa, yang ia jadikan kampus sebagai the first home, namun berlanjut pada kehidupan pasca kampusnya di masyarakaat, yang ia jadikan sebagai second home atau sebagai the school of life.

( chika )
Read more