Jumat, Juni 13, 2008

PERSFEKTIF KONTEKS KEMISKINAN
“Antara Korban dan Solusi yang Konstruktif”
Oleh : Siska Dian Klaresia1
Kata miskin berasal dari kosakata Arab, yaitu miskin yang diartikan sebagai “sesuatu yang tetap, tidak bergerak”.Ini memberikan arti bahwa seorang yang miskin adalah orang yang tidak mampu melakukan apa-apa, tidak bergerak dan tidak berdaya. Ia tidak bergerak, karena kemalasannya, atau karena tidak ada peluang untuk bergerak atau karena ada faktor lain yang membuatnya tidak bergerak. Sementara miskin dalam pengertian sehari-hari adalah “man la yajid ma yakfihi”2 (orang yang tidak dapat memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya).
Selain itu kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural3. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedangkan miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
Masalah kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan fasilitas atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada zaman modern. Mereka hanya mengandalkan alam sebagai kekayaan yang bisa dimanfaatkan, dan bila ada interaksi mereka hanya melakukannya dengan cara barter / tukar menukar.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk akan sangat menarik jika dikomparasikan dari berbagai aspek, yaitu sosial, ekonomi, psikologi dan politik.

Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya kepemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah,. tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan serta kurangnya keterlibatan dalam koridor pemerintahan.
Kemiskinan hari ini mungkin menjadi kosa kata yang paling banyak dirasakan tetapi sedikit dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Pembicaraan paling emosional, paling bersemangat dan paling getol diperjuangkan adalah tema-tema yang berkaitan dengan isu keyakinan dan moral personal, seperti liberalisme, sekularisme, pelacuran, seks, perjudian, dan sejenisnya. Sementara kemiskinan yang menjadi penyebab kematian berjuta-juta orang tampaknya tidak atau kurang begitu menarik.

Indonesia sebagai negara yang terkenal sebagai zamrud khatulistiwa dan kaya akan sumber daya alamnya malah tergolong ke dalam daftar negara miskin. Sungguh ironis!!! Seharusnya dengan modal berharga yang telah ada tersebut, Indonesia seyogyanya mampu mengsejahterakan keadaan rakyatnya secara maksimal. Jumlah penduduk miskin tersebut terdapat di wilayah perkotaan dan perdesaan. Namun akibat krisis jumlah penduduk pula yang semakin banyak dan tidak adanya pemerataan yang stabil, menyebabkan rakyat miskin di Indonesia diperkirakan akan semakin bertambah setiap tahunnya hingga beberapa tahun kedepannya.
Naiknya harga BBM pun turut berperan penting atas semakin bertambahnya kemiskinan yang ada di Indonesia. Banyaknya kasus kelaparan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia akibat ketidakmampuan daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sekalipun hanya untuk sesuap nasi. Penduduk miskin kadang tertolong dengan membeli beras murah saat ada operasi pasar (OP) Bulog. Namun ada pula yang memakan nasi aking yang didapat dari sisa makanan orang kaya yang dibuang begitu saja.
Yang Menjadi Korban

Kemiskinan dapat menimpa dan diderita oleh siapa saja, manusia laki-laki dan perempuan. Tetapi realitas kemiskinan yang tengah melanda bangsa Indonesia, memperlihatkan bahwa korban kemiskinan paling banyak diderita orang-orang yang lemah atau yang dilemahkan. Mereka adalah kaum perempuan dan anak-anak. Keadaan ini terjadi karena struktur sosial masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik dan sekaligus mendudukan mereka sebagai warga kelas dua. Dalam struktur sosial yang seperti ini, perempuan akan selalu tergantung kepada laki-laki (suami).Keadaan ini pada gilirannya mereka akan dipandang rendah, dimarjinalkan dan didiskriminasi dalam berbagai ruang kehidupannya terutama dalam akses ekonomi dan pendidikan. Dalam konteks Indonesia yang tengah terpuruk dan dilanda kemiskinan yang cukup akut seperti hari ini, kita melihat dengan jelas bagaimana kemiskinan telah melanda ribuan bahkan jutaan perempuan. Ketika laki-laki atau suami miskin, atau menjadi miskin, karena ketiadaan pekerjaan atau di PHK, maka kaum perempuan paling banyak menderita daripada kaum laki-laki.

Tidak hanya itu, kaum yang akan sama merasakan penderitaanpun meliputi orang-orang yang tidak mampu untuk mencari sumber kehidupannya sendiri karena keterbatasan fungsi fisik (cacat) dan para lansia yang tidak memiliki penopang hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam ruang korban kemiskinan.

Solusi yang Konstruktif ??

Dari dulu orang miskin selalu menjadi objek dalam merencanakan berbagai pembangunan. Katanya, untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Tetapi dari dulu pula nasib penduduk miskin tidak berubah secara signifikan, bahkan jumlahnya terus bertambah. Tiap tahun ada orang makan nasi aking atau tiwul, berburu beras murah dan mereka memilih berobat ke paranormal karena ongkos periksa dokter tidak terjangkau. Pengentasan kemiskinan sepertinya hanya di bibir, hasilnya tak pernah nyata..
Dalam teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Mengentaskan kemiskinan memang tidak cukup hanya dengan tindakan sporadis. Misalnya, dengan memberikan sumbangan langsung tunai, menjual beras murah atau membagi-bagi nasi aking. Itu hanyalah sementara. Ibarat pemadam kebakaran, hanya memadamkan apinya tetapi tidak menyentuh persoalannya. Akan tetapi, model pendekatan yang akan dilakukan mesti menyeluruh dan mengutamakan pembangunan berbasis masyarakat. Karena urusan kemiskinan bukan sekadar minimnya mengakses sumber-sumber ekonomi, melainkan menyangkut persoalan kultur atau sikap mental masyarakat itu sendiri. Minimnya daya juang dan terlalu pasrah pada keadaan masih menghinggapi sebagian masyarakat kita
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program yang telah ada tersebut.

Namun, apapun usaha atau program yang telah dirumuskan tersebut, pada kenyataannya akan kembali pada pribadi masyarakat itu sendiri. Semangat serta dorongan pemerintahpun harus tetap ikut bergulir sepanjang masyarakat tadi menetukan sikap untuk bangkit dari kemiskinan.



___________________________
1 “Seorang mahasiswi Fikom UNPI Cianjur, yang dilahirkan suatu ketika”
2 diambil dari kitab Mishbahul Munir (dalam buku antara miskin dan kaya)
3 3 Definisi kemiskinan menurut Ragnar Nurkse 1953
Read more