Selasa, Oktober 13, 2009

Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Pengambilan Kebijakan ;
“ Antara kualitas, kuantitas dan popularitas ”

“ Untuk mereka, perempuan-perempuan berjubah merah,
yang menopang langit diatas tanah pertiwi “ …

Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua anggota masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan didengar. Peran serta perempuan dalam ranah politik tentu sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Sementara melalui kebijakan, hukum dapat berlaku melindungi kepentingan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik maupun publik. Walaupun untuk pencapaian itu penuh kendala-kendala yang dihadapi terutama dalam keterlibatannya saat proses pembuatan UU, pengawasan dan penyusunan anggaran serta dalam pengambilan kebijakan.

Bicara kebijakan adalah bicara mengenai wilayah kekuasaan, wajar ketika saat ini perempuan tidak bisa berperan serta secara maksimal dalam menentukan sebuah kebijakan, karena secara factual perempuan tidak memiliki kekuasaan baik formal maupun informal. Fakta dilapangan menyatakan bahwa porsi keterwakilan perempuan ditingkat Legislatif maupun Eksekutif yang posisinya pada level pengambil keputusan (decition maker) sangatlah kecil. Padahal keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD, dari sisi kuantitas tetap diperlukan untuk memberi harapan, kekuatan, sekaligus gerakan bagi lahirnya kebijakan dan undang-undang yang mengakomodasi kebutuhan perempuan yang tidak bisa ditanggalkan lagi kepentingannya.

Penilaian partisipasi perempuan dalam politik diukur dengan jumlah anggota perempuan yang terdapat di parlemen. Walaupun mestinya tidak hanya itu yang menjadi tolok ukurnya. Aktivitas perempuan dalam partai politik, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus, juga merupakan wujud nyata dari partisipasi perempuan dalam politik.

Tetapi, fenomena tuntutan keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat dimengerti karena dengan jumlah anggota perempuan di dalam parlemen yang cukup banyak, maka perempuan dapat turut berpartisipasi dan berpengaruh dalam penentuan kebijakan bangsa bernegara.

Keterwakilan perempuan di dalam parlemen, baik parlemen nasional maupun parlemen daerah, tidak terlepas dari kiprah dan mekanisme kerja serta mekanisme pengaderan di partai politik. Sebab, partai politik merupakan gerbang awal dari masyarakat untuk memasuki dunia politik praktis. Upaya untuk memacu partisipasi perempuan dalam politik akan menimbulkan konsekuensi kelembagaan pada partai politik. Partai politik harus mendorong partisipasi aktif perempuan di dalam partainya.

Bagi perempuan, untuk bisa menjadi anggota parlemen harus lulus dan melewati tiga tahap ujian: (1) dia harus menyiapkan diri untuk menjadi calon, (2) dia dipilih menjadi calon oleh partai, dan (3) dia dipilih oleh pemilih. Dengan demikian, minimnya keterwakilan perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh sistem politik, tetapi juga oleh kesiapan dalam arti yang luas dari kaum perempuan sendiri untuk menjadi anggota parlemen.

Peluang

Mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 Undang Undang Pemilihan Umum nomor 10 Tahun 2008 dan memberlakukan "suara terbanyak", menyebabkan tindakan afirmasi 30% untuk legislatif perempuan yang sudah diatur dalam UU tidak punya arti lagi.

Parahnya, keputusan ini dilakukan di tengah jalan, ketika semua partai politik sudah sepakat menerapkan pasal 55 ayat 2 UU Pemilu yang menyebutkan "setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon".

Akibat putusan MK tadi, tindakan afirmasi yang diamanahkan UU Pemilu menjadi tidak efektif. Pemilihan dengan suara terbanyak memang demokratis, karena dipilih langsung rakyat. Akan tetapi, penetapan itu memiliki risiko untuk menghambat partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan. Akhirnya, perjalanan perempuan ke dunia politik, kandas di tengah jalan. Padahal, kebijakan tindakan afirmasi telah menjadi wacana global dan telah diterapkan di banyak negara. Hasilnya, sukses meningkatkan representasi perempuan dalam politik. Di negara Skandinivia, seperti Finlandia dan Swedia, peranan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat signifikan dan kesetaraan gender telah terimplementasikan dengan baik di sana.

Meskipun tindakan afirmasi yang ada saat ini menjadi tidak efektif setelah adanya putusan MK, bukan tidak bisa diakomodasi dalam ketentuan lain. Bagimanapun, kebijakan afirmasi merupakan langkah maju bagi perempuan untuk berkiprah aktif dalam politik. Parpol bisa memulai tradisi pengakomodasian dengan menempatkan kader perempuannya di pos-pos pengambil keputusan partainya. Lima tahun ke depan, masyarakat semakin kritis terhadap para caleg dan sadar bahwa representasi perempuan dalam politik sangat penting.

Bila peran politik perempuan diakomodasi dalam sebuah sistem, Kartini tentunya akan bahagia, impiannya sedikit demi sedikit mulai terwujud. Perjuangan tindakan afirmasi telah menjadi salah satu langkah maju untuk terus memacu peluang perempuan untuk aktif dalam kehidupan bernegara. Tidak lagi menjadi warga pasif, yang pasrah menelan produk hukum yang isinya masih bersifat diskriminatif dan belum mampu mengakomodasi seluruh aspirasi kaum perempuan.

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia. Sehingga tidak dapat dipungkiri, jika perempuan kini mampu tampil dengan mayoritas dalam sisi demografis juga harus mampu menempati posisi yang penting dalam produk kemajuan politik tanah air. Semoga.

Penulis : Siska Dian Klaresia (FIKOM UNPI/7)
Nominator penulisan Artikel PB KOHATI

0 komentar:

Posting Komentar

Kasiiiih koment yang membangun yaaah....biar tetep semangat nulisnya...hehehe...tp insya allah kita terima apapun juga yang penting Kalian isi buku tamu okay !!!