Senin, November 10, 2008

Jalan Baru Pemuda Indonesia Refleksi kritis atas matinya nasionalisme

“Perubahan dimulai dari membuang duri dijalan, agar tak terinjak yang lain”

80 Tahun sudah para pemuda Indonesia menorehkan kidahnya dalam mengantarkan bangsa ini menuju jalan panjang yang bernama kesatuan. Deangan latar belakang yang berbeda, mereka mengukuhkan satu bangsa satu nusa satu bahasa, semua tak lain demi persatuan bangsa ini menuju cita-cita, sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat.

Harta dan nyawa bukanlah sebuah halangan dalam menorehkan kisahnya demi bangsa ini, ketulusan menjadi sebuah baju yang melekat erat dan kejujuran menjadi langkah kebersamaan. Sebuah plot dan epic bangsa yang tertindas bangkit, itulah kita, Indonesia. Lewat para pemuda 80 tahun silamlah, kini semua bisa menghirup nafas dari keberadaan negeri yang berkepulauan ini.

Hari yang tepat semua memperingati momen tersebut, namun seiring waktu akankah momen tersebut masih meniupkan makna dari “ Sumpah Pemuda” Indonesia tahun 80 silam, atau hanyalah ritus tahunan yang hanya menjadkan tanggal tersebut sebagai tanggal ceremonial saja??. Lantas dari sekian banyak jargon memperingati sumpah pemuda, punya makna apa untuk melanjutkan sumpah pemuda pada hari esok.
Dikala semua bicara nasionalisme, yang pada kenyataannya nasionalisme sendiri telah di lempar ke dalam tong sampah keterpurukan bangsa ini, hingga pada akhirnya nasionalisme telah mati. Dan akan dikenang hanya pada tanggal-tanggal keramat, sambil menunggu kehancuran. Mirip perayaan ulang tahun memang, bukan lantas harus bertanya, berapa usia kita, tapi mau apa dngan usia kita sebagai pemuda.

Itulah wacana-wacana yang digulirkan ketika memperingati hari “Sumpah Pemuda” oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-UNPI) pada tanggal 28 Oktober 2008 lalu di “Meja kebangsaan serba guna kantin UNPI”. Perayaan yang juga diisi oleh berbagai macam simbolik yang sederhana, bukan menjadi sebuah halangan dan hambatan untuk tetap menjunjung tinggi kehormatan para pemuda di tahun 80. Dalam acara tersebut pun turut mengundang pembicara dari kalangan dosen dan mahasiswa yang membuat suasana nasionalis terasa membakar dada. Terlebih Opening Act yang disajikan, berupa pembacaan puisi “Revolusi belum Mati” semakin membuat suasana kajian peringatan “Sumpah Pemuda” menjadi begitu sakral. Semangat inilah yang terlihat dalam setiap diri mahasiswa dan mahasiswi UNPI yang menjadikan momen tersebut sebagai hari dimana kita sebagai pemuda, memulai untuk maju bersama atas nama nasionalisme.

Namun, kemajuan zaman yang sarat dengan globalisasi, hari ini tengah menghantui para pemuda Indonesia. Dikala mereka lupa akan jati diri mereka dan secara sengaja “melacurkan” harga diri menjadi sebuah kesenangan hidup yang hanya sementara serta mereka gadaikan pada setumpuk uang. Pemuda yang seharusnya menjadi generasi penerus misi dalam persatuan bangsa, seperti acuh tak acuh akan suasana bangsa saat ini. Lantas, adakah jalan untuk mengembalikan “moral lacur” mereka untuk konsep pembangunan jati diri di negeri ini?? Inilah realitas yang harus kita pikirkan bersama. Bukan hanya oleh pemerintah saja, tetapi oleh kita juga sebagai pemuda penerus bangsa. Jika kesadaran ini tidak dimulai oleh kita, siapa lagi?? Dan jika tidak kita mulai dari sekarang, kapan lagi??. Oleh karena itu, mari kita berbuat sesuatu untuk bangsa ini, Indonesia.

(ck-4)

0 komentar:

Posting Komentar

Kasiiiih koment yang membangun yaaah....biar tetep semangat nulisnya...hehehe...tp insya allah kita terima apapun juga yang penting Kalian isi buku tamu okay !!!